Penundaan Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) dan Prinsip Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Ilustrasi

OPINI HUKUM
Oleh Redaksi Hukum KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – Kunjungan Gubernur Jawa Barat ke Kejaksaan Negeri Purwakarta pada Jumat (8/11/2025) bukan hanya memunculkan tafsir politik, tetapi juga membuka kembali perdebatan penting tentang dasar hukum pengelolaan Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) di tingkat daerah. Dalam video yang beredar, Gubernur, yang saat periode 2016–2018 menjabat sebagai Bupati Purwakarta, menyebut bahwa penundaan DBHP dilakukan karena “pembangunan meningkat”.

Pernyataan ini, jika dibaca dari perspektif hukum keuangan negara, justru menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah alasan pembangunan meningkat dapat dijadikan dasar hukum untuk menunda transfer DBHP kepada pemerintah desa atau pihak penerima lainnya?

Jawabannya tegas: tidak bisa.

DBHP Adalah Kewajiban Hukum, Bukan Pilihan Politik

Dalam sistem keuangan negara, DBHP merupakan mandatory transfer, yakni kewajiban hukum pemerintah daerah untuk menyalurkan bagi hasil pajak kepada pemerintah di bawahnya sesuai porsi dan waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa setiap penerimaan dan pengeluaran daerah harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dalam tahun anggaran yang sama (prinsip annuality).

Demikian pula, Pasal 162 ayat (1) Permendagri 77 Tahun 2020 secara eksplisit melarang pergeseran alokasi belanja antar urusan tanpa persetujuan DPRD dan dasar hukum yang sah.
Artinya, dana yang sudah ditetapkan untuk bagi hasil tidak dapat “ditunda” atau “dialihkan” dengan alasan peningkatan pembangunan, kecuali dalam keadaan luar biasa seperti bencana besar atau krisis fiskal yang dibuktikan dengan penetapan resmi.

Penundaan Tanpa Dasar Hukum = Maladministrasi dan Potensi Tipikor

Penundaan DBHP tanpa dasar hukum formal, tanpa pencatatan sebagai Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA), dan tanpa Peraturan Daerah (Perda) Perubahan APBD adalah pelanggaran administratif serius.
Dalam konteks hukum pidana keuangan negara, praktik tersebut bahkan dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor, karena berpotensi menimbulkan kerugian keuangan daerah.

Lebih dari itu, tindakan tersebut melanggar asas klasik dalam keuangan publik:

“No expenditure without appropriation” — tidak boleh ada pengeluaran tanpa otorisasi anggaran yang sah.

Dengan demikian, alasan “pembangunan meningkat” bukan hanya tidak relevan secara hukum, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap penggunaan dana di luar peruntukannya.

Kunjungan Gubernur ke Kejari: Simbol Politik atau Upaya Hukum?

Langkah Gubernur yang mendatangi Kejaksaan untuk meminta telaahan hukum patut diapresiasi sebagai bentuk keterbukaan. Namun perlu digarisbawahi, telaahan hukum bukan mekanisme pembersihan tanggung jawab pidana atau administratif.

Hukum administrasi keuangan bersifat objektif dan formalistik: setiap pelanggaran terhadap prinsip anggaran tahunan atau mekanisme pengesahan anggaran otomatis menimbulkan tanggung jawab hukum, tanpa perlu menunggu niat jahat (mens rea).
Dengan demikian, walaupun pejabat terkait beritikad baik, ketidakpatuhan prosedural tetap menimbulkan konsekuensi hukum.

Keadilan Fiskal dan Moral Anggaran

Isu DBHP bukan sekadar soal transfer uang antarlevel pemerintahan, melainkan juga soal moralitas anggaran.
Dana bagi hasil adalah hak konstitusional masyarakat di tingkat bawah yang harus digunakan untuk pelayanan publik, infrastruktur desa, dan kesejahteraan rakyat. Menunda atau mengalihkan dana tersebut berarti menunda hak publik.

Keadilan fiskal hanya dapat terwujud jika setiap rupiah uang rakyat dikelola sesuai hukum, bukan berdasarkan tafsir atau kebijakan sepihak.

Hukum Tidak Mengenal “Pembangunan Meningkat”

Sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, seluruh keuangan negara harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tidak ada satu pun norma hukum yang membenarkan penundaan transfer fiskal hanya karena “pembangunan meningkat”.

Karena itu, pernyataan Gubernur justru memperkuat argumentasi hukum bahwa telah terjadi penyimpangan administratif dan potensi pelanggaran pidana dalam pengelolaan DBHP Purwakarta 2016–2018.

Kini, publik menunggu langkah tegas aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa hukum keuangan daerah bukan sekadar teks di atas kertas, melainkan mekanisme nyata untuk menjaga integritas uang rakyat.

Redaksi Hukum KabarGEMPAR.com
“Menegakkan Keadilan, Mengawal Akuntabilitas Publik.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *