Analisis Yuridis Penundaan Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) dan Implikasi Hukumnya terhadap Pejabat Terkait

Ilustrasi

Opini Hukum: Redaksi KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – Kedatangan mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, ke Kejaksaan Negeri Purwakarta pada 8 November 2025 untuk meminta telaah hukum atas dugaan penundaan penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) periode 2016–2018 menandai langkah penting dalam mencari kepastian hukum terkait pengelolaan keuangan daerah.
Dalam pernyataannya, Dedi Mulyadi mengakui bahwa penyaluran DBHP kepada pemerintah desa memang tertunda, dan berencana menyalurkannya pada akhir tahun ini. Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan hukum yang serius mengenai keabsahan penyaluran anggaran lintas tahun fiskal.

Analisis Yuridis terhadap Penundaan DBHP

Penundaan penyaluran DBHP wajib dianalisis berdasarkan ketentuan hukum keuangan negara yang berlaku. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa setiap penerimaan dan pengeluaran daerah harus:

1. Ditampung dalam APBD tahun berjalan (asas annuality); dan

2. Digunakan sesuai peruntukan yang telah disetujui DPRD (asas spesialitas anggaran).

Dengan demikian, apabila penyaluran DBHP tahun anggaran 2016–2018 baru dilaksanakan pada tahun 2025 tanpa didasari Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD (P-APBD) atau penetapan SILPA DBHP, maka tindakan tersebut berpotensi melanggar asas legalitas anggaran.

Kualifikasi Hukum atas Penundaan Penyaluran

Penundaan DBHP dapat diklasifikasikan ke dalam dua kemungkinan hukum:

1. Penundaan karena keadaan luar biasa (force majeure)
Apabila penundaan terjadi akibat faktor luar biasa, seperti bencana, kebijakan nasional, atau gangguan fiskal, maka penyaluran di luar tahun anggaran dapat dibenarkan, sepanjang Pemerintah Daerah menetapkan dasar hukumnya melalui P-APBD yang disetujui DPRD.

2. Penundaan tanpa dasar hukum yang sah
Apabila penundaan dilakukan tanpa penetapan P-APBD, tanpa persetujuan DPRD, atau tanpa pencatatan SILPA DBHP, maka tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan keuangan negara.
Kondisi ini membuka potensi pelanggaran Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat dipidana apabila mengakibatkan kerugian keuangan negara.”

Dengan demikian, apabila dana DBHP periode 2016–2018 belum disalurkan sesuai ketentuan dan baru akan direalisasikan pada tahun 2025 tanpa dasar hukum yang sah, maka tanggung jawab hukum melekat pada pejabat yang membuat keputusan penundaan tersebut.

Implikasi Hukum bagi Pejabat Terkait

Pejabat yang memegang kewenangan pada periode 2016–2018 dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti:

1. Menunda penyaluran DBHP tanpa persetujuan DPRD;

2. Mengalihkan dana DBHP untuk kegiatan lain di luar ketentuan APBD; atau

3. Tidak mencatat dana tersebut sebagai SILPA DBHP pada laporan keuangan daerah.

Tanggung jawab hukum tersebut dapat mencakup:

Sanksi administratif dan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 1 Tahun 2004, yang mengatur kewajiban penggantian kerugian negara; dan

Sanksi pidana korupsi, apabila ditemukan unsur memperkaya diri atau orang lain yang menimbulkan kerugian keuangan negara, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Sementara itu, pejabat yang saat ini menjabat hanya dapat dimintai pertanggungjawaban apabila turut melaksanakan penyaluran dana tanpa dasar hukum yang sah. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Purwakarta harus memastikan adanya dasar hukum baru melalui perubahan APBD tahun 2025 sebelum melakukan penyaluran dana tersebut.

Telaah Hukum oleh Kejaksaan dan Urgensi Koreksi APBD

Langkah Dedi Mulyadi mendatangi Kejaksaan Negeri Purwakarta untuk meminta telaah hukum merupakan tindakan yang patut diapresiasi sebagai bentuk itikad baik dan upaya preventif.
Namun, Kejaksaan wajib memberikan pendapat hukum (legal opinion) yang menegaskan batas antara kesalahan administratif dan indikasi tindak pidana korupsi, agar tidak terjadi overlapping kewenangan antara ranah administrasi dan pidana.

Dalam konteks ini, Pemkab Purwakarta harus segera mengoreksi APBD atau membuat regulasi pengesahan penyaluran DBHP lintas tahun, agar pelaksanaan penyaluran di tahun 2025 memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak menimbulkan potensi pelanggaran baru.

Kesimpulan

1. Penyaluran DBHP periode 2016–2018 di luar tahun anggaran tanpa dasar hukum perubahan APBD melanggar asas legalitas dan annuality anggaran.

2. Pejabat yang bertanggung jawab atas penundaan atau penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan DBHP dapat dimintai pertanggungjawaban administratif, perdata, maupun pidana.

3. Penyaluran DBHP di tahun 2025 hanya dapat dilakukan setelah terdapat dasar hukum yang sah melalui Perda atau perubahan APBD.

4. Kejaksaan Negeri Purwakarta perlu memberikan telaah hukum yang objektif sebagai langkah preventif agar tidak terjadi kerugian keuangan negara.

Opini hukum ini menegaskan bahwa asas legalitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah tidak dapat diabaikan. Setiap penundaan atau penyaluran lintas tahun fiskal tanpa dasar hukum yang sah tidak hanya melanggar prinsip good governance, tetapi juga berpotensi menjerat pejabat yang bertanggung jawab ke dalam sanksi pidana korupsi.

KabarGEMPAR.com
Mengungkap Fakta, Gemparkan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *