GEMPAR Temukan Pembayaran Pajak Tak Masuk Kas Daerah, Desak Evaluasi Menyeluruh PBB-P2

Kantor Bupati Karawang.

KARAWANG | KabarGEMPAR.com – Penurunan capaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Kabupaten Karawang dalam empat tahun terakhir menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Gerakan Masyarakat Peduli Karawang (GEMPAR) merilis pernyataan resmi yang tidak hanya mengkritik tata kelola pemerintah daerah, tetapi juga menawarkan paket solusi komprehensif yang dinilai dapat memulihkan penerimaan daerah jika diterapkan secara konsisten.

Ketua Umum GEMPAR, Mulyadi, menegaskan bahwa anjloknya PBB-P2 tidak bisa lagi dijelaskan hanya dengan dalih melemahnya daya beli masyarakat. Ia menilai persoalan utama justru bersumber dari lemahnya manajemen data dan tata kelola pemungutan pajak yang tidak mengikuti perubahan kondisi lapangan.

“Ini bukan semata persoalan warga yang menunggak. Akar masalahnya ada pada sistem yang tidak terurus. Data objek pajak tidak diperbarui, penagihan masih manual, banyak wajib pajak terdaftar yang sebenarnya sudah meninggal atau pindah, sementara NJOP tidak lagi mencerminkan kondisi riil,” ujar Mulyadi, Jumat.

Empat Tahun Terus Turun, Karawang Masuk Zona Risiko Pendapatan

Berdasarkan data resmi yang dihimpun GEMPAR, capaian PBB-P2 Kabupaten Karawang menunjukkan tren penurunan beruntun sejak 2022:

2022: 34,4%

2023: 32,4%

2024: 29,7%

2025 (per 26 Oktober): 27,3%

Grafik penurunan ini menempatkan Karawang dalam situasi yang disebut para analis fiskal sebagai “zona risiko pendapatan”, karena PBB-P2 merupakan salah satu tulang punggung Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Jika dibiarkan, penurunan berulang seperti ini dapat berdampak pada kemampuan daerah menjalankan layanan publik,” kata seorang pengamat fiskal daerah yang dihubungi terpisah.

GEMPAR Soroti Kerusakan Sistemik dalam Pengelolaan PBB-P2

Dalam pernyataannya, GEMPAR mengungkapkan sejumlah persoalan mendasar yang diyakini menjadi penyebab utama penurunan penerimaan pajak:

1. Data objek pajak tidak diperbarui bertahun-tahun

Banyak perubahan fungsi lahan, bangunan baru, hingga alih kepemilikan yang belum masuk dalam basis data Bapenda.

2. NJOP tidak lagi proporsional

Penetapan NJOP tahun 2021 dinilai tidak mengikuti dinamika harga tanah dan kondisi sosial ekonomi saat ini.

3. Validitas data wajib pajak lemah

Ditemukan banyak wajib pajak terdaftar yang sudah meninggal, pindah domisili, atau objeknya telah berubah status.

4. Penagihan manual tidak efektif dan rawan kesalahan

Petugas lapangan masih mengandalkan door-to-door tanpa sistem digital yang terintegrasi.

5. Minim sosialisasi dan edukasi pajak

Beberapa desa melaporkan kurangnya informasi mengenai manfaat pembayaran pajak.

6. Tidak ada publikasi capaian bulanan

Situasi ini membuat publik tidak bisa mengawasi perkembangan pendapatan daerah.

“Jika data yang digunakan salah, maka kebijakan apa pun tidak akan tepat sasaran,” kata Mulyadi.

Temuan Lapangan: Warga Sudah Bayar, Tapi Tidak Tercatat

Salah satu temuan yang dinilai paling memprihatinkan adalah laporan dari desa-desa mengenai pembayaran PBB yang tidak pernah tercatat sebagai pungutan resmi.

GEMPAR menerima laporan bahwa:

Petugas yang mengantarkan SPPT ke rumah warga sering dianggap sebagai petugas penerima pembayaran.

Sebagian warga langsung menyerahkan uang kepada petugas desa atau kolektor karena mengira SPPT adalah bukti pembayaran.

Tidak sedikit pembayaran tersebut tidak disetorkan ke rekening kas daerah.

Akibatnya, warga tercatat sebagai penunggak meski telah membayar.

Kasus ini memunculkan potensi kebocoran penerimaan yang cukup signifikan.

“Ini persoalan serius. Warga sudah taat, tapi sistem kontrol lemah sehingga ada pembayaran yang tidak sampai ke kas daerah. Pemerintah harus segera lakukan audit,” tegas Mulyadi.

GEMPAR Tawarkan Lima Solusi Komprehensif

Untuk menghentikan penurunan penerimaan PBB-P2, GEMPAR menyodorkan lima rekomendasi utama:

1. Pemutakhiran Data Objek Pajak (Pendataan Ulang Total)

Mulai dari pendataan lapangan, verifikasi perubahan lahan, hingga pembersihan data ganda.

2. Digitalisasi Penuh Sistem Penagihan

Meliputi notifikasi otomatis, dashboard publik, aplikasi pembayaran terpadu, dan laporan tunggakan realtime.

3. Evaluasi Menyeluruh Perbup NJOP 2021

Bukan sekadar revisi tarif, tetapi penyesuaian agar adil dan proporsional dengan kemampuan ekonomi warga.

4. Publikasi Capaian PBB-P2 Setiap Bulan

Sebagai langkah transparansi dan penguatan pengawasan publik.

5. Penguatan Sosialisasi Pajak

Menghadirkan materi yang mudah dipahami dan pendekatan langsung ke masyarakat desa.

Risiko Terhadap Layanan Publik: Infrastruktur hingga Kesehatan Bisa Terdampak

Jika tren penurunan ini tidak dihentikan, Karawang berpotensi mengalami perlambatan pembangunan pada berbagai sektor, antara lain:

perbaikan infrastruktur desa,

pelayanan kesehatan,

pembiayaan pendidikan,

program bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Sumber PAD yang melemah dapat membuat Karawang semakin bergantung pada dana transfer dari pusat.

GEMPAR: Siap Mengawal, Pemerintah Diminta Tidak Defensif

Pada akhir pernyataannya, Mulyadi menegaskan bahwa GEMPAR tidak berada pada posisi menyerang pemerintah, tetapi menawarkan kerja sama untuk perbaikan sistem.

“Kami siap ikut mengawal proses evaluasi dan perbaikan dari awal. Yang kami minta hanya satu: Pemkab Karawang mau membuka ruang evaluasi yang objektif dan tidak defensif. Ini soal masa depan pendapatan daerah,” ujarnya.

GEMPAR berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah nyata sebelum penurunan PBB-P2 berubah menjadi krisis pendapatan yang berdampak luas pada masyarakat.

Laporan: Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *