Pernikahan Tidak Dapat Menghapus Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Ilustrasi

OPINI HUKUM

Oleh: Mulyadi
Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – Kasus AF, pelaku Pencabulan Anak dibawah umur di Batujaya, Karawang, kembali menjadi pengingat bahwa praktik menikahkan pelaku dengan korban bukan hanya keliru secara moral, tetapi juga bertentangan secara fundamental dengan hukum positif Indonesia. Negara melalui aparat penegak hukum tidak lagi memberi ruang kompromi terhadap kekerasan seksual terhadap anak, terlebih ketika perbuatan tersebut menimbulkan kehamilan dan melibatkan tipu muslihat seperti pemalsuan surat atau penipuan mahar.

Kasus yang menimpa anak berusia 15 tahun ini menjadi bukti bahwa kekerasan terhadap anak seringkali berusaha ditutup-tutupi dengan kedok pernikahan. Padahal, dari perspektif hukum, tindakan tersebut tidak menghapus pertanggungjawaban pidana. Aparat penegak hukum justru berkewajiban melanjutkan proses secara independen tanpa dapat dihentikan oleh perdamaian keluarga.

Delik Umum: Negara Tidak Terikat Kepada Persetujuan Korban

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, tindak pidana seksual terhadap anak merupakan delik umum. Artinya, keberlanjutan kasus tidak bergantung pada adanya laporan atau tidak; negara tetap harus memproses pelaku. Ketentuan ini ditegaskan melalui:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang menetapkan Perppu Nomor 1/2016 sekaligus memperberat ancaman pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Kedua aturan ini mengatur bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap anak wajib dipidana. Anak, menurut hukum, tidak dapat memberikan persetujuan untuk berhubungan seksual. Dengan demikian, argumen “suka sama suka” tidak pernah dapat dijadikan pembenaran.

Pernikahan Tidak Menghapus maupun Mengurangi Pidana

Tidak ada satu pun norma dalam KUHP, UU Perlindungan Anak, atau UU Perkawinan yang menyatakan bahwa pernikahan dapat menghapus atau menghentikan proses pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip lex specialis derogat legi generali, di mana ketentuan khusus mengenai perlindungan anak mengesampingkan aturan umum lain.

Selain itu, beberapa putusan pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, menegaskan bahwa pernikahan setelah berbuat tidak menghilangkan tindak pidana. Justru, dalam banyak kasus, praktik tersebut dipandang sebagai:

  • bentuk rekayasa untuk menghindari hukuman,
  • upaya memaksa korban menerima keadaan,
  • atau tindakan yang memperparah dampak psikologis korban.

Pernikahan dalam kasus AF tidak dapat diperlakukan sebagai alasan pemaaf atau meringankan. Bahkan, jika terbukti dilakukan untuk menutupi tindak pidana, hal itu dapat menjadi pertimbangan yang memperberat hukuman.

Kehamilan Korban Sebagai Keadaan Memberatkan

UU Perlindungan Anak mengatur secara eksplisit bahwa kehamilan akibat persetubuhan dengan anak merupakan keadaan memberatkan. Pasal 81 ayat (4) menegaskan bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman maksimal dalam kondisi tersebut. Jika pelaku memiliki relasi kuasa, misalnya guru, pembina, atau staf sekolah, maka status tersebut dapat semakin memperberat hukuman.

Dalam kasus AF, korban yang masih di bawah umur hamil tiga bulan. Fakta ini secara otomatis menempatkan pelaku dalam ancaman maksimum.

Dimensi Tindak Pidana Lain: Penipuan dan Pemalsuan Dokumen

Kasus ini tidak berhenti pada persoalan kekerasan seksual. Keterangan keluarga korban mengenai mahar emas yang sebagian besar diduga palsu, serta surat pembelian emas yang juga dicurigai dipalsukan, membuka pintu pada dugaan tindak pidana lain:

  • Pasal 378 KUHP tentang penipuan,
  • Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen,
  • serta Pasal 55 KUHP jika ada pihak yang turut membantu.

Aparat penegak hukum berkewajiban mengembangkan penyidikan secara komprehensif terhadap seluruh unsur tersebut.

Tugas Negara: Melindungi Anak, Bukan Menyelesaikan Kasus

Sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 35/2014, negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kejahatan seksual. Perlindungan ini mencakup:

  • penyidikan ramah anak,
  • pendampingan psikologis dan hukum,
  • larangan tekanan terhadap keluarga korban,
  • serta penegakan hukum tanpa intervensi.

Penyelesaian melalui jalan pintas, seperti menikahkan pelaku dengan korban, bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan melemahkan upaya negara dalam memutus mata rantai kekerasan seksual.

Hukum Harus Berdiri di Pihak Anak

Kasus AF menjadi refleksi bahwa masyarakat masih memerlukan edukasi kuat mengenai perlindungan anak. Penyelesaian adat atau kekeluargaan tidak dapat dijadikan alasan untuk meredam tindak pidana berat. Negara sudah menentukan garis tegas bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan serius, bukan persoalan privat.

Penegakan hukum terhadap AF dan pelaku-pelaku serupa harus menjadi pesan kuat bahwa anak adalah subjek hukum yang wajib dilindungi, bukan dikorbankan.

KabarGEMPAR.com
“Mengungkap Fakta, Gemparkan Berita”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *