Tinjauan Kritis atas Kebijakan Pemblokiran Dana oleh Bank Daerah
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com
KASUS pemblokiran dana cadangan angsuran yang dialami seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Bekasi oleh bank bjb menyoroti isu penting dalam ranah tata kelola lembaga keuangan daerah dan perlindungan hak-hak nasabah, khususnya aparatur sipil negara (ASN) di sektor pendidikan. Dalam konteks ini, praktik pemotongan dan pemblokiran dana tanpa kejelasan mekanisme serta akuntabilitas patut dipertanyakan secara serius, baik dari sisi legalitas, keadilan prosedural, maupun etika pelayanan publik.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan melalui surat terbuka kepada Gubernur Jawa Barat, dana lebih dari Rp14 juta milik seorang guru PNS diblokir secara sepihak oleh bank bjb sebagai “cadangan angsuran lima bulan” dalam fasilitas Kredit Guna Bhakti. Padahal, menurut pengakuan pihak guru, seluruh kewajiban angsuran berjalan lancar tanpa keterlambatan. Namun dana tersebut tetap tidak dapat diakses hingga waktu yang tidak ditentukan.
Praktik ini memunculkan pertanyaan fundamental: sejauh mana bank daerah memiliki kewenangan untuk menahan dana pribadi nasabah yang telah menunjukkan kepatuhan terhadap kewajiban finansialnya? Lebih jauh, bagaimana bentuk akuntabilitas lembaga keuangan publik dalam memastikan bahwa setiap kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dilakukan dengan prinsip transparansi, proporsionalitas, dan persetujuan yang sadar dari nasabah?
Dalam literatur keuangan publik dan perbankan, prinsip transparansi informasi dan informed consent merupakan syarat mutlak dalam setiap relasi antara lembaga keuangan dan nasabah. Pemblokiran dana tanpa penjelasan yang memadai dan tanpa pilihan alternatif yang disampaikan secara terbuka, mencerminkan potensi pelanggaran terhadap prinsip tersebut. Hal ini dapat dikategorikan sebagai praktik yang tidak fair dalam hubungan kontraktual antara bank dan nasabah, serta berpotensi mengarah pada maladministrasi keuangan.
Lebih dari itu, dari perspektif keadilan sosial, perlakuan seperti ini terhadap guru—yang notabene adalah elemen vital dalam pembangunan sumber daya manusia—dapat dianggap tidak proporsional dan tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi mereka. Guru, terutama di daerah, kerap menghadapi tantangan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anak. Penahanan dana dalam jumlah besar tanpa alasan yang transparan akan menambah beban psikologis dan finansial yang tidak seharusnya mereka tanggung.
Dalam hal ini, peran otoritas pengawasan keuangan daerah, termasuk Gubernur Jawa Barat, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan Dinas Pendidikan, menjadi sangat penting untuk mengevaluasi dan, jika perlu, mengoreksi kebijakan internal bank daerah. Sebagai lembaga keuangan milik pemerintah daerah, bank bjb seyogianya menjunjung tinggi fungsi pelayanan publik dan keberpihakan pada keadilan ekonomi, bukan sekadar beroperasi dengan prinsip komersial murni.
Rekomendasi ke depan adalah perlunya pembentukan mekanisme kebijakan kredit dan pemotongan dana yang lebih akuntabel dan partisipatif, termasuk:

- Penjelasan tertulis dan detail kepada nasabah terkait alasan, durasi, dan syarat pelepasan dana cadangan.
- Mekanisme keberatan dan banding bagi nasabah yang merasa dirugikan.
- Pemberlakuan kebijakan berbasis asesmen risiko individual, bukan generalisasi yang merugikan.
- Evaluasi terhadap kebijakan internal bank daerah oleh otoritas eksternal (seperti DPRD atau BPKP Daerah).
Kasus ini bukan sekadar soal prosedur perbankan, melainkan juga cermin dari sejauh mana lembaga publik memahami dan mengimplementasikan prinsip keadilan distributif dan tanggung jawab sosial dalam menjalankan fungsi ekonominya. Perlindungan terhadap nasabah yang loyal, berintegritas, dan berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa seperti para guru PNS, merupakan prasyarat mutlak bagi legitimasi lembaga keuangan publik di mata rakyat.