KPU RI Jadikan Pesan MK dalam Putusan Pilkada Banjarbaru Sebagai Bahan Evaluasi
JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan akan menjadikan pesan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kota Banjarbaru 2024 sebagai bahan evaluasi internal.
Anggota KPU RI, August Mellaz, menegaskan hal tersebut saat konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Senin (26/5/2025). Ia mengatakan bahwa pesan MK menjadi pengingat penting bagi KPU agar lebih berhati-hati dalam memberikan maupun mencabut akreditasi terhadap lembaga pemantau pemilu.
“Ini adalah bagian dari evaluasi kami, karena sejak pemilu nasional hingga pilkada, preseden seperti ini baru pertama kali terjadi,” ujar Mellaz.
Mellaz menambahkan, KPU tidak hanya fokus pada amar putusan MK semata, melainkan juga pada pertimbangan hukum yang menyertainya, karena hal itu turut mengikat dan akan memengaruhi langkah kelembagaan ke depan.
Sebelumnya, dalam Putusan Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025, Mahkamah menyampaikan bahwa pencabutan akreditasi terhadap lembaga pemantau yang telah mengajukan gugatan ke MK sebaiknya dihindari. Hal ini menyusul dicabutnya akreditasi Lembaga Pemantau Pemilu Republik Indonesia (LPRI) setelah mereka mendaftarkan permohonan sengketa hasil PSU Pilkada Kota Banjarbaru.
“Menurut Mahkamah, pencabutan akreditasi setelah pemantau pemilihan mengajukan permohonan ke Mahkamah haruslah dihindari karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan hukum Pemohon,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang putusan.
Enny menjelaskan, meskipun secara hukum pencabutan akreditasi diatur sebagai bentuk sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan pemantau pemilu, hak pemantau yang telah mengajukan permohonan ke MK tetap harus dilindungi demi menjaga netralitas dan keadilan proses pemilu.
“Ini penting agar pemilihan dengan calon tunggal tetap memiliki ruang kontestasi dan dapat dipersengketakan,” tuturnya.

Dalam putusan tersebut, MK juga menegaskan pentingnya bagi penyelenggara pemilu untuk lebih cermat dalam menerbitkan sertifikat akreditasi bagi lembaga pemantau, serta menjaga prinsip netralitas dalam proses verifikasi.
Meski demikian, MK menyatakan permohonan LPRI yang diwakili oleh Ketua LPRI Kalimantan Selatan, Syarifah Hayana, tidak dapat diterima. Mahkamah menilai dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti dan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat (2) huruf b UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Berdasarkan hasil PSU, selisih perolehan suara antara calon tunggal dan kolom kosong mencapai 4.628 suara atau 4,3 persen. Sementara ambang batas pengajuan sengketa hanya 1,5 persen atau maksimal 1.612 suara dari total suara sah.
Selain LPRI, seorang pemilih bernama Udiansyah juga mengajukan gugatan melalui perkara nomor 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025. Namun permohonan tersebut juga ditolak karena Udiansyah dinilai tidak memiliki kedudukan hukum.
Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com
Sumber: www.mkri.id