Talaga yang Menelan Kerajaan: Kisah Nestapa dari Tanah Majalengka
Di Majalengka, pernah berdiri sebuah kerajaan megah bernama Talaga Manggung. Tak banyak yang tahu bahwa danau tenang yang kini disebut Situ Talaga dahulu adalah pusat dari sebuah kekuasaan yang besar, tempat takhta dijunjung tinggi dan rakyat hidup dalam ketentraman.
Awal Sebuah Kemegahan
Kerajaan Talaga Manggung didirikan oleh seorang tokoh sakti bernama Rhakeyan Sudhayasa, yang dikenal sebagai Batara Gunung Bitung. Ia bukan hanya seorang pendiri, tapi juga penjaga harmoni antara manusia dan alam, antara langit dan bumi.
Namun, kejayaan sejati kerajaan ini terjadi di masa pemerintahan Prabu Talagamanggung raja arif dan pemberani yang dicintai rakyat, ditakuti musuh, dan dihormati oleh semua petinggi kerajaan. Ia memerintah dengan hati, tak sekadar hukum. Dalam pengayomannya, Talaga menjadi negeri yang makmur. Hutan-hutan terlindungi, sawah menguning setiap musim, dan tidak ada rakyat yang kelaparan. Namun kekuasaan, sebagaimana api dalam sekam, selalu mengundang iri dan ambisi.
Satu Malam, Satu Luka, Seribu Kutukan
Dalam bayang-bayang singgasana, seorang abdi kepercayaan raja bernama Centang Barang menyimpan kegelisahan. Ia lelaki cerdas, cepat, dan dipercaya mengatur urusan dalam istana. Namun hatinya goyah ketika Patih Palembang Gunung tangan kanan raja yang lama menyimpan niat tersembunyi membujuknya untuk melakukan pengkhianatan besar.
“Ambillah senjata pusaka itu. Bunuh sang raja dalam tidurnya. Jika berhasil, engkau akan kuangkat menjadi panglima,” bisik Palembang Gunung.
Centang Barang, mabuk oleh mimpi kekuasaan, kehilangan akal dan rasa. Maka pada malam balebat, ketika bulan menghilang dan seluruh kerajaan terlelap, ia masuk ke kamar raja dengan senjata terhunus. Dalam sekejap, ia menusuk sisi kiri tubuh Prabu Talagamanggung tempat cinta dan kepercayaan selama ini bersemayam.

Darah membasahi lantai batu. Raja mengerang pelan, namun ia tak memerintahkan balas dendam. Dengan napas berat, ia berkata kepada para penjaga:
“Jangan buru dia. Biarkan Dewa yang menghakiminya. Pengkhianatan tak akan pernah selamat.”
Sabda itu menjadi kenyataan. Centang Barang tak pernah hidup tenang. Ia dihantui suara raja dalam mimpinya, bayangan darah, dan bisikan gelap dari dalam dirinya sendiri. Hari demi hari ia kehilangan waras, menggigit tubuhnya sendiri dalam kegilaan sampai akhirnya mati dalam kesendirian tubuhnya hancur, jiwanya lenyap.
Runtuhnya Singgasana, Tenggelamnya Kerajaan
Setelah raja wafat, Patih Palembang Gunung mengambil alih kekuasaan. Ia mendirikan keraton baru di daerah Walang Suji. Namun kekuasaan yang lahir dari darah tidak pernah membawa berkah. Ratu Simbar Kancana, istri sang raja, tahu bahwa kejatuhan suaminya adalah buah dari pengkhianatan Patih.
Dengan hati membara oleh dendam, Ratu Simbar Kancana membunuh Palembang Gunung suaminya sendiri dalam sepi dan dinginnya malam. Air mata dan darah menyatu di lantai keraton.
Setelah itu, kerajaan terkatung-katung. Tak ada pewaris sah. Ratu Simbar Kancana mencoba mengangkat saudaranya, Panglurah, sebagai raja, namun ia menolak. Dalam diam, Panglurah memilih menghilang menyusul Prabu Talagamanggung ke Talaga Sangiang, dan mengangkat Ratu Simbar Kancana sebagai pemimpin terakhir Kerajaan Talaga.
Namun ia tahu, dirinya hanya pelindung sementara. Maka kerajaan pun diserahkan kepada putranya dari suami kedua seorang bangsawan berdarah Galuh, keturunan raja-raja dari pedalaman tanah Sunda.
Namun sebelum tahta berpindah, terjadi keajaiban yang tak pernah terlupakan. Keraton tua tempat darah dan airmata pernah tumpah… hilang. Dilenyapkan oleh alam, ditelan bumi, dan digantikan oleh danau luas yang kini disebut Situ Talaga. Konon, di dasar danau itu masih berdiri pilar-pilar keraton, dan suara-suara dari masa lalu masih kadang terdengar oleh mereka yang duduk diam di tepiannya.
Talaga yang Menangis
Sekarang, hanya tinggal air dan kabut. Hanya legenda yang masih hidup. Tapi bila kau duduk sendirian di tepi Situ Talaga, saat angin senja membawa bau basah dari air yang hening, kau mungkin akan mendengar bisikan halus: doa Ratu Simbar Kancana, jeritan pengkhianatan, atau tangis sunyi dari Prabu Talagamanggung yang memaafkan meski terluka.
Kerajaan boleh hilang. Kekuasaan boleh tenggelam. Tapi kisah mereka akan selalu mengalir bersama riak air di danau yang menyimpan air mata sebuah kerajaan.
Penulis: Iin Susanti
Editor: Redaktur KabarGEMPAR.com
Sumber: wikipedia.org