Ketatnya Syarat Pendirian Sekolah: Pedang Bermata Dua bagi Akses Pendidikan Masyarakat
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com
Surat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9072/HK.04/HUKHAM tanggal 4 September 2024, yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, menegaskan kembali syarat administratif dan substantif dalam pendirian satuan pendidikan, khususnya SMA, SMK, dan SLB. Ketentuan ini mengacu pada berbagai peraturan menteri, termasuk Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian, Perubahan, dan Penutupan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Salah satu poin krusial dalam surat tersebut adalah kewajiban adanya bukti kepemilikan tanah dan bangunan atas nama pemerintah, pemerintah daerah, atau badan penyelenggara. Syarat ini dianggap penting untuk menjamin keberlanjutan proses belajar mengajar sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Namun demikian, penerapan syarat tersebut dalam konteks sosial dan geografis Indonesia yang sangat beragam dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, aturan ini memperkuat tata kelola dan legalitas institusi pendidikan. Di sisi lain, terdapat potensi membatasi akses masyarakat terhadap layanan pendidikan, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) atau daerah padat yang kesulitan memperoleh lahan.
Benturan dengan Prinsip Akses dan Keadilan Pendidikan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang bermutu. Lebih lanjut, Pasal 11 mengamanatkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, ketika syarat administratif seperti kepemilikan lahan dijadikan indikator mutlak, maka ada risiko pengabaian terhadap prinsip keadilan akses, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berinisiatif mendirikan sekolah swadaya namun belum memiliki aset tanah yang sah secara hukum.
Tantangan Lembaga Swasta dan Komunitas

Kebijakan ini juga menimbulkan tantangan serius bagi lembaga pendidikan non-pemerintah, baik yayasan keagamaan, masyarakat adat, maupun komunitas yang bergerak di bidang pendidikan alternatif. Tidak sedikit lembaga tersebut telah memberikan kontribusi besar dalam menyelenggarakan pendidikan di daerah yang sulit dijangkau oleh sekolah negeri, namun kini mereka dibayangi ancaman ditolak karena alasan administrasi kepemilikan.
Di sinilah peran negara semestinya hadir. Bukan hanya sebagai regulator, melainkan juga fasilitator dan afirmator. Negara, melalui pemerintah daerah, dapat membangun kemitraan dengan lembaga masyarakat serta membantu dalam penyediaan aset lahan atau mekanisme pinjam pakai lahan milik pemerintah demi menjamin keberlanjutan pendidikan bagi anak-anak bangsa.
Kontradiktif dengan Semangat Perlindungan Anak
Lebih jauh, jika ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka kebijakan ini bisa dinilai kontradiktif. Pasal 9 dan Pasal 21 dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib menjamin tersedianya sarana pendidikan bagi mereka.
Dengan memperketat syarat administratif tanpa ada jalur afirmatif atau kebijakan transisi, maka negara justru bisa gagal dalam memberikan perlindungan atas hak-hak dasar anak. Pendidikan bukan hanya soal legalitas lahan, tetapi juga soal kehadiran ruang belajar di tengah masyarakat.
Pentingnya Pendekatan Progresif dan Inklusif
Alih-alih memperketat syarat pendirian sekolah hanya dari sisi administratif, seharusnya pemerintah daerah mengambil pendekatan progresif yang mengedepankan inklusivitas. Misalnya, dengan memberikan dispensasi bersyarat, membuka skema kerja sama dengan pemilik lahan, atau menyediakan fasilitas lahan sementara bagi sekolah yang sudah beroperasi dan terbukti dibutuhkan oleh masyarakat.
Langkah ini juga sejalan dengan semangat UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menekankan asas kemudahan, keadilan, dan non-diskriminasi dalam pelayanan pemerintah.
Kesimpulan: Jangan Korbankan Hak Anak atas Nama Regulasi
Aturan yang tertuang dalam surat Sekda Jabar tersebut memang sah dan perlu, sebagai upaya menjaga kualitas dan legalitas satuan pendidikan. Namun, dalam pelaksanaannya, regulasi ini harus dilandasi oleh sensitivitas sosial dan semangat menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara, terutama anak-anak.
Pendidikan bukanlah milik birokrasi semata. Ia adalah hak dasar setiap anak. Maka, negara dan pemerintah daerah wajib membuka ruang seluas-luasnya bagi penyelenggara pendidikan yang memiliki niat baik dan komitmen kuat, meskipun belum sempurna dari sisi dokumen legal.
Dengan demikian, pemerataan pendidikan dapat terwujud tanpa menjadikan regulasi sebagai penghalang utama.