Taufiq Ismail, Sang Penjaga Nurani Bangsa yang Menyuarakan Keadilan Lewat Puisi
JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Di usia yang ke-90 tahun, Taufiq Ismail masih berdiri tegak sebagai penjaga nurani bangsa. Namanya tak pernah pudar dalam jagat kesusastraan Indonesia. Ia bukan hanya penyair, tapi juga intelektual, aktivis budaya, dan suara moral yang tak pernah lelah menyuarakan keadilan dan kemanusiaan.
Peringatan Hari Sastra Indonesia yang jatuh setiap 3 Juli tahun ini terasa istimewa. Sebab, bertepatan dengan peluncuran enam jilid buku karya Taufiq Ismail dalam rangka memperingati usianya yang ke-90 tahun. Acara yang digelar di Jakarta itu dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, termasuk Menteri Agama Nasaruddin Umar yang turut membacakan syair persembahan dari tanah suci.
“Pak Taufiq adalah cermin kebangsaan kita. Puisinya menjadi kompas moral bangsa,” ujar Nasaruddin.
Masa Kecil dan Pendidikan
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 25 Juni 1935. Ia tumbuh dalam keluarga religius dan intelektual. Ayahnya, KH Abdul Gaffar Ismail, adalah ulama dan wartawan pejuang. Sejak muda, Taufiq telah memperlihatkan minat besar pada dunia sastra dan jurnalistik.
Pendidikan formalnya dimulai dari Solo hingga Pekalongan, kemudian mengikuti program pertukaran pelajar di Whitefish Bay High School, Milwaukee, Amerika Serikat. Ia lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia dan lulus tahun 1963.
Karier Sastra dan Aktivisme
Karier kepenyairannya melejit pada masa pergolakan politik 1960-an. Ia menjadi salah satu tokoh utama Angkatan ’66, yang dikenal dengan puisi-puisi berisi kritik tajam terhadap ketidakadilan dan tirani. Ia juga turut menandatangani Manifesto Kebudayaan, dokumen penting dalam sejarah sastra Indonesia.

Pada 1966, ia bersama sejumlah tokoh mendirikan Majalah Horison, yang menjadi rumah bagi sastrawan muda hingga dekade 2000-an. Di sini, Taufiq aktif sebagai editor sekaligus mentor, mendorong lahirnya generasi penulis baru.
Puisi, Musik, dan Suara Moral
Puisinya seperti Tirani dan Benteng, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia), dan Sajadah Panjang tak hanya menggugah, tapi juga abadi dalam ingatan publik. Banyak dari puisinya dimusikalisasi oleh grup Bimbo, Chrisye, hingga God Bless. Lebih dari 70 puisi Taufiq telah dijadikan lagu.
“Kalau puisi tak didengar, biar jadi lagu,” ujarnya suatu ketika dalam forum musikalisasi puisi.
Taufiq dikenal karena selalu konsisten menempatkan sastra sebagai alat perjuangan moral. Di masa Orde Baru maupun era reformasi, ia tak segan bersuara lewat kata.
Pengakuan dan Penghargaan
Selama karier panjangnya, Taufiq telah menerima berbagai penghargaan bergengsi. Antara lain Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970), SEA Write Award dari Thailand (1994), dan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden RI (2016).
Tak hanya di dalam negeri, karya-karyanya juga menembus dunia internasional. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Arab, Jepang, Jerman, dan Turki.
Warisan Seorang Maestro
Kini, di usia 90 tahun, Taufiq masih aktif menulis dan berdiskusi tentang bangsa. Buku “90 Tahun Taufiq Ismail” yang diluncurkan baru-baru ini mencakup kumpulan puisi, refleksi, esai, dan dokumentasi karya sepanjang hidupnya.
“Pak Taufiq adalah national treasure,” ujar Fadli Zon, salah satu tokoh budaya yang hadir di acara peluncuran buku.
Tak banyak sastrawan yang tetap bersinar di usia senja. Taufiq Ismail tidak hanya bertahan, tapi terus menyalakan lentera kebudayaan. Di tengah dunia yang kian bising, suaranya tetap jernih, lantang, dan menyentuh.
Penulis: Mulyadi | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com