BOPD: Ketika Dana Pendidikan Menjadi Simbol Ketertutupan

Ilustrasi

Oleh Redaksi KabarGEMPAR.com

KabarGEMPAR.com – Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) yang digelontorkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk jenjang SMA/SMK Negeri menjadi salah satu instrumen penting dalam mendorong pendidikan gratis dan berkualitas.

Dengan nilai yang cukup besar, yakni Rp 1.900.000 per siswa per tahun, semestinya dana ini mampu menutupi banyak kebutuhan operasional sekolah dari pembayaran honor guru non-ASN hingga pemeliharaan sarana dan prasarana.

Namun, di balik lembar-lembar juknis dan laporan penggunaan dana, publik mulai mempertanyakan: apakah dana sebesar itu benar-benar digunakan untuk pendidikan? Atau malah ada bagian yang menjadi pundi-pundi segelintir pihak?

Dana yang Mengendap dalam Misteri

BOPD dirancang untuk menjamin kelangsungan kegiatan belajar mengajar tanpa membebani orang tua. Tapi faktanya, banyak sekolah masih memungut iuran dari siswa dengan dalih “kegiatan tambahan”.

Lebih mencemaskan lagi, sejumlah guru honorer mengaku menerima honorarium yang sangat kecil, bahkan tak jarang mengalami keterlambatan pencairan padahal honor mereka seharusnya ditanggung melalui pos BOPD. Lantas, ke mana perginya dana ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap tahun di masing-masing sekolah itu?

Tertutup, Tak Bisa Diakses Publik

Ketika KabarGEMPAR.com mencoba meminta data realisasi anggaran kepada beberapa satuan pendidikan, jawaban yang diterima rata-rata normatif: “Sudah digunakan sesuai juknis,” atau, “Itu urusan bendahara dan kepala sekolah.” Bahkan, ada pula yang menyebut bahwa laporan BOPD bukan konsumsi publik. Padahal, sebagai dana publik, penggunaan BOPD wajib dibuka ke publik dan diawasi bersama.

Minimnya keterbukaan ini membuat ruang pengawasan masyarakat sangat terbatas, bahkan nyaris tertutup rapat. Situasi ini rentan disusupi praktik manipulasi laporan, belanja fiktif, atau penggelembungan anggaran.

Dugaan: BOPD Tak Lagi Murni untuk Pendidikan

Investigasi KabarGEMPAR.com menemukan adanya pola pengelolaan dana yang mengarah pada penyimpangan. Mulai dari pembelian alat tulis kantor dengan nilai yang tidak masuk akal, kegiatan pelatihan yang hanya formalitas, hingga pos “pemeliharaan” yang berulang-ulang namun kondisi bangunan sekolah tetap memprihatinkan.

Beberapa narasumber menyebut adanya “kewajiban menyetor” ke pihak-pihak tertentu dalam struktur birokrasi pendidikan. Jika benar, maka ini adalah bentuk penyimpangan yang sistemik dan perlu penindakan serius.

Publik Harus Tahu dan Berhak Bertanya

Jika BOPD dijalankan secara jujur dan transparan, semestinya sekolah-sekolah negeri di daerah tidak kekurangan fasilitas. Tidak perlu ada keluhan siswa tentang WC rusak, jaringan internet putus-putus, atau honor guru yang tak kunjung dibayar.

KabarGEMPAR.com menegaskan bahwa transparansi bukan sekadar formalitas laporan. tapi soal komitmen terhadap pendidikan yang bersih dan berintegritas.

Kami mendesak Dinas Pendidikan Provinsi dan lembaga pengawas seperti Inspektorat dan BPKP untuk melakukan audit terbuka terhadap penggunaan BOPD di setiap sekolah.

Rapor keuangan sekolah bukan milik kepala sekolah semata, tapi milik publik – milik rakyat.

Investigasi akan terus bergulir. Selanjutnya: “Mengungkap Jejak Dana BOPD di Sekolah Favorit Kabupaten Karawang”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup