Membatasi Bansos: Negara Tak Boleh Hitung-Hitungan dengan Kaum Miskin

Ilustrasi: Mereka bukan pemalas, bukan pula pengemis permanen. Mereka adalah korban dari ketimpangan, krisis struktural, dan sistem yang kerap tidak berpihak.

Oleh Mulyadi Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – balik deretan angka statistik dan jargon pemberdayaan, masih banyak wajah-wajah lelah yang menggantungkan harapan hidupnya pada bantuan negara. Mereka bukan pemalas, bukan pula pengemis permanen. Mereka adalah korban dari ketimpangan, krisis struktural, dan sistem yang kerap tidak berpihak. Bagi mereka, bantuan sosial (bansos) bukan sekadar transfer uang, melainkan bentuk paling nyata dari kehadiran negara.

Kebijakan pemerintah yang membatasi bansos maksimal lima tahun bagi masyarakat miskin dan miskin ekstrem yang tergolong produktif patut dipertanyakan secara moral dan konstitusional. Diumumkan oleh Deputi Kemenko PMK, Leontinus Alpha Edison, kebijakan ini diklaim sebagai bagian dari Perintis Berdaya, program berbasis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 yang bertujuan menekan angka kemiskinan ekstrem dan mendorong kemandirian ekonomi.

Pemerintah menyatakan bahwa bansos tidak boleh diberikan seumur hidup, dan warga miskin yang produktif harus diarahkan menjadi mandiri melalui pelatihan, akses pembiayaan, dan pengembangan usaha. Sementara itu, bansos tanpa batas waktu hanya akan diberikan kepada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan lansia.

Tentu, kita sepakat bahwa ketergantungan jangka panjang pada bantuan tidak ideal. Namun, mendorong kemandirian tidak bisa dilakukan dengan menutup keran bantuan secara sepihak. Terlebih jika instrumen pemberdayaan yang dijanjikan belum sepenuhnya terbukti efektif, inklusif, dan tepat sasaran.

Kita perlu bertanya: apakah lima tahun cukup untuk keluar dari kemiskinan struktural? Apakah seluruh warga miskin yang “produktif” sudah memiliki akses pendidikan, pekerjaan layak, dan peluang usaha yang adil? Apakah infrastruktur pemberdayaan sudah siap di seluruh wilayah? Jika jawabannya belum, maka membatasi bantuan justru bisa menjadi bentuk pengabaian.

Konstitusi Tak Mengenal Batas Waktu untuk Memelihara Kaum Lemah

Lebih dari itu, kebijakan ini menyentuh persoalan mendasar tentang hak konstitusional. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dengan jelas: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Tidak ada catatan kaki, tidak ada batas waktu. Selama seseorang masih miskin dan belum mampu hidup layak, negara berkewajiban memelihara dalam arti memberi perlindungan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan jalan keluar dari kemiskinan.

Konstitusi tidak pernah mengatakan bahwa kewajiban negara berakhir dalam lima tahun. Maka, jika kebijakan ini dilaksanakan tanpa jaminan bahwa penerima sudah benar-benar sejahtera, negara dapat dianggap melanggar konstitusi. Warga yang dirugikan bahkan dapat menggugat melalui mekanisme hukum, termasuk uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Jangan Ganti Tanggung Jawab dengan Target Angka

Kita patut waspada terhadap logika kebijakan yang mengutamakan angka dibanding nasib manusia. Jika tujuan pengentasan kemiskinan hanya dikejar melalui hitungan tahun atau target statistik, maka kita sedang mengabaikan sisi kemanusiaan dari kebijakan publik. Pengentasan kemiskinan bukan kompetisi cepat, tetapi proses panjang yang membutuhkan kesabaran, keadilan, dan empati dari negara.

Editorial ini tidak dimaksudkan untuk menolak pemberdayaan. Justru kami mendorong agar program-program seperti Perintis Berdaya diperkuat, diperluas, dan diawasi agar benar-benar menjangkau masyarakat secara merata. Namun, pemberdayaan tidak bisa menjadi alasan untuk menghentikan hak dasar warga atas bantuan hidup.

Negara Tidak Boleh Hitung-Hitungan dengan Warganya yang Lapar

Negara bukan korporasi. Negara tidak boleh menghitung untung rugi ketika menyangkut perut lapar, anak yang tidak sekolah, atau orang tua yang terbaring sakit. Ketika rakyat miskin dihadapkan pada batas waktu bansos, tetapi tidak diberi jaminan jalan keluar, maka itu bukan pemberdayaan itu pelepasan tanggung jawab.

Kebijakan yang menyangkut hidup orang banyak harus dibangun di atas pondasi keadilan sosial, bukan efisiensi administratif semata. Konstitusi adalah janji negara kepada rakyatnya dan janji itu tidak boleh diingkari hanya karena alasan waktu.

KabarGEMPAR.com. Suara Kritis, Mata Nurani Bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup