Enjang Tak Pernah Minta, Tapi Kita yang Harus Peduli: Sebuah Cerita yang Menampar Kemanusiaan

Enjang Taryana, kini berusia 54 tahun, hidup dalam keterasingan sosial dan ekonomi di tanah kelahirannya sendiri.

Oleh: Redaksi KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – Jika Anda pernah melewati Kampung Parung Tengah, RT 022 RW 007, Kelurahan Parung, Kecamatan Subang, barangkali tak akan menyangka ada potret kemanusiaan yang begitu sunyi namun menyayat hati. Seorang lelaki paruh baya bernama Enjang Taryana, kini berusia 54 tahun, hidup dalam keterasingan sosial dan ekonomi di tanah kelahirannya sendiri.

Lahir pada 1 Januari 1971, Enjang sejak kecil telah mengalami keterbatasan fisik. Tubuhnya lemah, tangan dan kakinya tak seperti anak-anak lain, dan lidahnya tak mampu merangkai kata dengan lancar. Hidupnya bergantung sepenuhnya pada sang ibu, Aih Aresin, perempuan tangguh berusia 68 tahun yang tak pernah lelah merawat, dan menjaga anak sulungnya itu.

Namun, cinta seorang ibu tak selalu cukup untuk melawan kerasnya sistem sosial yang seringkali luput melihat yang paling membutuhkan. Enjang bukan hanya penyandang disabilitas, ia juga tidak memiliki rumah sendiri, tidak pernah menikah, tidak bekerja, dan lebih menyakitkan tidak tercatat sebagai penerima bantuan sosial apapun.

“Dari bayi Enjang sudah lemah. Enggak bisa jalan normal, ngomong juga susah. Cuma saya yang dia punya,” ujar Ibu Aih lirih.

Setelah sang ayah meninggal dunia, mereka tak lagi memiliki figur kepala keluarga yang dianggap “resmi” oleh sistem untuk mengakses banyak program bantuan. Bahkan bantuan PKH yang pernah diterima, ikut terhenti. Kartu identitas milik Enjang hanyalah simbol kehadiran yang tak pernah cukup kuat untuk mengetuk pintu-pintu kebijakan.

Yang lebih ironis, saat bantuan desa disalurkan secara periodik, nama Enjang tak pernah muncul dalam daftar. Sebuah abai sistemik yang membuat kehadirannya seperti tak dianggap.

Hari ini, Enjang dan ibunya hanya menumpang di rumah adiknya. Mereka hidup dari belas kasih keluarga dan tetangga. Tapi sampai kapan? Apalagi jika kelak ibu tercinta itu pergi lebih dulu siapa yang akan menjaga Enjang?

Enjang adalah potret mereka yang hidup di lapisan paling rapuh di masyarakat: disabilitas, lansia, miskin, dan tak punya suara dalam sistem. Ia bukan sekadar data statistik kemiskinan atau perihal “belum masuk daftar” ia adalah manusia nyata yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Ini bukan hanya panggilan simpati, melainkan seruan agar kita menata ulang prioritas moral. Negara melalui aparaturnya dari level Kelurahan hingga pusat harus lebih jeli dan aktif memastikan bahwa mereka yang seperti Enjang tidak terus-menerus luput dari perhatian dan haknya.

Di sisi lain, masyarakat sipil juga perlu lebih peduli. Sebab dalam banyak kasus, perubahan tak selalu datang dari atas. Kadang, suara-suara warga, aksi komunitas, dan gotong royong sesama bisa lebih cepat menjadi penyambung harapan.

Mari Jadi Tangan yang Menyentuh

Jika pemerintah kelurahan belum melihat,

Jika pemerintah daerah belum hadir,

Maka biarlah kita yang menjadi mata, telinga, dan tangan yang menyentuh.

Bantuan untuk Enjang bisa berupa:

  • Uang tunai untuk kebutuhan harian
  • Alas tidur, kursi roda, pakaian layak
  • Makanan bergizi atau vitamin

Identitas Penerima Bantuan:

  • Nama: Enjang Taryana
  • Alamat: Kampung Parung Tengah RT 022/RW 007, Kelurahan Parung, Kecamatan Subang Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat.

Jangan biarkan kisah Enjang Taryana menguap di antara ribuan laporan anggaran atau data statistik. Ia nyata. Ia hidup. Dan ia menunggu. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Catatan Redaksi KabarGEMPAR.com: Artikel ini ditulis agar warga peduli pada isu kemanusiaan dan sosial di lingkungan sekitar. Kabar gempar mendorong publik untuk menyuarakan dan memperjuangkan mereka yang seringkali tak terlihat oleh sistem.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup