Wakil Ketua Komisi III DPR Soroti Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Karawang: “Tidak Boleh Ada Restorative Justice”
JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sari Yuliati, menyayangkan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi berusia 19 tahun di Karawang, Jawa Barat, yang diselesaikan melalui mekanisme damai dengan menikahkan korban dan pelaku, lalu bercerai sehari setelahnya.
Sari menegaskan bahwa penanganan seperti itu bertentangan dengan arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menolak penggunaan pendekatan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual.
“Penanganan kasus kekerasan seksual tidak boleh melalui mekanisme restorative justice, tidak boleh ada kata damai. Tentu hal ini tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kapolri bahwasannya menikahkan pelaku kekerasan seksual dengan korban bukanlah langkah yang tepat,” ujar Sari kepada wartawan saat dihubungi, Minggu (29/6/2025).
Sari turut menyampaikan keprihatinannya terhadap korban. Ia meminta jajaran Polres Karawang untuk mengambil langkah tegas dan menegakkan hukum sesuai aturan yang berlaku.
“Kami meminta jajaran kepolisian untuk dapat menangani kasus kekerasan seksual ini sebagaimana arahan Kapolri dan memastikan pelaku dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tambah politisi Partai Golkar dari Dapil NTB tersebut.
Korban Diduga Diperkosa Paman yang Merupakan Guru Ngaji
Kasus ini bermula ketika seorang mahasiswi berinisial N (19) diduga menjadi korban rudapaksa oleh pamannya sendiri yang juga dikenal sebagai guru ngaji. Peristiwa terjadi pada 9 April 2025 di rumah nenek korban di Kecamatan Majalaya, Karawang.
Menurut kuasa hukum korban, Gary Gagarin, pelaku datang dengan dalih ingin bersilaturahmi, namun kemudian korban mendadak tidak sadarkan diri setelah bersalaman. Ia baru sadar setelah berada di sebuah klinik.

“Pelaku memanfaatkan momen sepi dan korban dalam kondisi tidak sadar. Aksi pelaku sempat dipergoki oleh nenek korban yang langsung memanggil warga,” ungkap Gary.
Pelaku kemudian diamankan dan dibawa ke Polsek Majalaya. Namun, menurut Gary, penanganan justru diarahkan ke jalur damai dengan menikahkan korban dan pelaku, tanpa proses hukum pidana yang seharusnya.
“Korban dipaksa menikah, lalu diceraikan keesokan harinya. Anehnya, kasus tidak dilimpahkan ke Unit PPA Polres, dengan alasan korban bukan anak di bawah umur,” tegas Gary.
Kuasa Hukum Kritik Sikap Polsek Majalaya
Gary mengecam sikap aparat Polsek Majalaya yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip pro justicia. Ia menilai pernyataan Kapolsek yang menyebut “tidak ada unsur pidana” tidak berdasar dan bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
“Penanganan ini tidak objektif dan tidak akuntabel. Unit PPA tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk perempuan dewasa korban kekerasan,” katanya.
Gary telah menyurati Kapolres Karawang untuk meminta audiensi dan kejelasan hukum. Jika tidak mendapat keadilan di tingkat Polres, pihaknya akan melanjutkan upaya hukum ke Polda Jabar, Bareskrim Polri, Komnas Perempuan, dan Komnas HAM.
“Kasus ini tidak bisa dinormalisasi. Kami akan terus berjuang untuk keadilan, tidak hanya untuk N, tetapi untuk semua perempuan korban kekerasan seksual,” tegasnya.
Intimidasi hingga Lemparan Batu
Pasca mediasi, keluarga korban juga disebut menerima intimidasi dan teror, termasuk pelemparan batu ke rumah. Upaya melaporkan kasus ke Satgas TPKS kampus tempat korban menempuh pendidikan juga tidak mendapat tanggapan selama lebih dari sebulan.
Gary menegaskan bahwa kesepakatan damai tidak menghapus unsur pidana dalam kasus kekerasan seksual. Saat ini, pihaknya juga mengupayakan pendampingan psikologis melalui P2TP2A dan mendesak Polres Karawang agar laporan korban diterima dan ditindaklanjuti secara hukum.
“Perdamaian bukan berarti pidana gugur. Ini adalah kasus serius yang harus ditangani dengan transparan dan akuntabel,” tutup Gary.
Laporan: Tim Kabar Karawang | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com