Sekolah Swasta Terluka, Mutu Pendidikan Dipertaruhkan

Poster seruan dari FKSS Jabar menolak rencana penambahan jumlah siswa hingga 50 per rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri, dengan slogan "Sekolah Swasta Terluka".

Oleh: Mulyadi | Pemimpin redaksi

KABARGEMPAR.COMPendidikan adalah jalan peradaban. Namun, di tengah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, kebijakan pemerintah terkait rencana menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri hingga 50 siswa justru mengundang tanda tanya besar.

Seruan keras datang dari sekolah swasta yang merasa kian terpinggirkan. Poster bertajuk “Sekolah Swasta Terluka, Tolak Rencana Sekolah Negeri 50 Siswa Per Rombel” menggema di media sosial sebagai bentuk perlawanan moral dan profesional.

Secara regulatif, kebijakan ini jelas bermasalah. Permendikbud No. 22 Tahun 2016 secara tegas menyebutkan bahwa jumlah maksimal siswa per rombel adalah 36 siswa. Rencana menambah hingga 50 siswa per kelas berarti menambah beban 14 siswa di atas ambang batas. Hal ini bukan sekadar angka, tapi soal kualitas pembelajaran, kenyamanan ruang belajar, dan efektivitas interaksi guru dan murid.

Pemerintah beralasan bahwa penambahan ini untuk mengakomodasi lonjakan permintaan masuk sekolah negeri. Tapi langkah instan ini justru seperti menyiram api dengan bensin. Daya tampung yang ditingkatkan tanpa disertai daya dukung (ruang kelas, jumlah guru, dan sarana belajar) hanya akan membuat kualitas pembelajaran ambruk. Kelas menjadi sesak, siswa kehilangan ruang gerak, dan guru kewalahan menilai serta membimbing secara personal.

Sementara itu, sekolah swasta berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka ingin berkontribusi mencerdaskan bangsa dengan menyediakan pendidikan terjangkau dan berkualitas. Namun di sisi lain, mereka menghadapi ketimpangan kebijakan. Jumlah siswa potensial menyusut karena sekolah negeri “bernafsu” menampung lebih banyak, tanpa batasan realistis. Sekolah swasta pun hanya bisa mengelus dada, izin pendirian yang berliku, regulasi yang terus berubah, serta beban operasional yang tidak kecil harus dihadapi setiap tahun.

Analogi sederhana bisa menggambarkan ini: muatan mobil truk saja diatur batasnya agar layak dan aman di jalan, apalagi ini tentang manusia, anak-anak bangsa yang akan belajar tiga tahun dalam kondisi tak layak jalan. Ketika sistem memaksa mereka masuk ke dalam ruang sempit yang tak sesuai kapasitas, pendidikan hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi.

Pendidikan seharusnya tidak menjadi medan monopoli atau pertarungan pasar bebas. Negara memiliki kewajiban menjamin pemerataan sekaligus mendorong kolaborasi sehat antara sekolah negeri dan swasta. Sekolah swasta bukan pesaing, melainkan mitra strategis. Tanpa mereka, beban pendidikan nasional tak akan tertampung secara utuh.

Editorial ini adalah peringatan dini. Jika kebijakan rombel jumbo diterapkan, maka masa depan pendidikan terutama di tingkat menengah akan berada dalam ancaman serius. Bukan hanya mutu yang hancur, tapi juga ekosistem pendidikan yang adil dan seimbang.

Pendidikan bukan tentang kuantitas yang berlebihan, melainkan kualitas yang terjamin. Jangan sampai ambisi populis justru menjadi kuburan mutu yang kita perjuangkan selama ini.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup