Pandangan Partai Politik Terbelah Soal Pemisahan Pemilu Berdasarkan Putusan MK
JAKARTA, | KabarGEMPAR.com – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan pemisahan penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pelantikan presiden atau wakil presiden. Putusan tersebut tertuang dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 dan menyatakan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8/2015 tentang Pilkada inkonstitusional bersyarat.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa norma pemilu serentak tidak sejalan dengan amanat UUD 1945, sehingga pemisahan antara pemilu legislatif dan eksekutif nasional serta daerah menjadi keharusan konstitusional. Putusan tersebut langsung memicu berbagai tanggapan dari partai politik di DPR.
Demokrat: Waspadai Perpanjangan Masa Jabatan
Sekjen Partai Demokrat Herman Khaeron menyebut pihaknya akan melakukan kajian mendalam terhadap implikasi putusan ini. Menurutnya, pemisahan waktu pemilu berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hingga dua tahun. “Ini tentu berdampak pada struktur dan skema kepengurusan partai yang harus disesuaikan,” ujar Herman, Rabu (3/7/2025).
Golkar: Kritik terhadap Konsistensi Putusan MK
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir mempertanyakan konsistensi Mahkamah Konstitusi. Ia menyoroti kecenderungan perubahan sikap MK yang bergantung pada pergantian hakim maupun kondisi politik. “Putusan MK yang seharusnya bersifat final dan mengikat, justru tampak fleksibel tergantung siapa yang memutus,” kritik Adies.
PKB: Jaga Konsistensi UUD 1945
PKB melalui Wakil Ketua Fraksi Cucun Ahmad Syamsurijal menilai MK telah melampaui kewenangan konstitusionalnya. Ia mengingatkan agar norma lima tahunan pemilu dalam UUD 1945 tetap dihormati. “Putusan ini bisa menciptakan preseden yang mengaburkan prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya.

PDIP: Usul Revisi UU Pemilu
Sementara itu, politisi PDIP Aria Bima mengaku terkejut atas putusan tersebut, namun terbuka untuk merespons dengan revisi terhadap UU Pemilu. Ia menyebut pemisahan pemilu secara horizontal, antara eksekutif dan legislatif, bisa menjadi format yang lebih efektif. Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan seluruh fraksi di DPR akan segera membahasnya dalam forum resmi.
NasDem: Kajian Lanjutan Diperlukan
Meski tidak secara eksplisit disebut dalam putusan terbaru, Partai NasDem sebelumnya telah menyatakan kekhawatirannya. Mereka menilai langkah MK dapat berpotensi melanggar UUD 1945 dan menyatakan akan mendalami lebih lanjut implikasinya terhadap sistem pemilu nasional.
Implikasi Praktis Putusan
Dengan adanya pemisahan pemilu ini, kemungkinan Pilkada baru akan digelar pada 2031 jika Pemilu Presiden dan DPR berlangsung tahun 2029. Artinya, masa jabatan anggota DPRD maupun kepala daerah bisa mengalami perpanjangan.
Hal ini menuntut revisi menyeluruh terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada. DPR dan pemerintah pun akan segera merumuskan mekanisme transisi, termasuk pertemuan antar partai politik serta diskusi teknis dengan KPU dan Kemendagri.
Pemerintah dan lembaga teknis seperti KPU diharapkan segera menyiapkan pedoman baru agar tahapan pemilu dapat berjalan sesuai aturan baru. Publik juga diminta untuk memahami dan mengawasi proses ini agar demokrasi tetap berjalan tanpa jeda kekuasaan di daerah.
Menuju Sinkronisasi Hukum dan Transisi Demokrasi
Putusan ini menjadi momentum penting bagi pembenahan sistem kepemiluan nasional. Meski menuai kontroversi, langkah Mahkamah Konstitusi ini membuka ruang untuk evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan pemilu yang selama ini dianggap tumpang tindih dan membebani penyelenggara.
Kini bola berada di tangan DPR dan pemerintah untuk memastikan sinkronisasi regulasi dan mekanisme teknis yang tepat, demi keberlanjutan sistem demokrasi Indonesia.
Laporan: Tim Kabar Nasional | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com