Mengenang Sosok Sang Penegak Hukum: Abdul Rahman Saleh, Penjaga Nurani Bangsa
Hari itu, Jumat, 4 Juli 2025, langit Jakarta tampak muram. Bukan karena mendung, tapi karena kabar duka menyelimuti jagat hukum Indonesia: Abdul Rahman Saleh bin Saleh Alwaini, mantan Jaksa Agung Republik Indonesia dan Hakim Agung Mahkamah Agung, berpulang dalam usia 84 tahun. Ia bukan hanya seorang penegak hukum, ia adalah penjaga nurani bangsa. Ia dikenal luas sebagai pribadi bersih, sederhana, tegas namun penuh kebijaksanaan. Di tengah keraguan publik terhadap sistem hukum, Arman ‘begitu ia biasa disapa’ hadir sebagai oase kejujuran. Dan kini, kita kehilangan satu panutan besar.
Lahir di Pekalongan, 1 April 1941, Arman tumbuh dalam suasana kebangsaan yang sedang bergolak. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1967, melanjutkan Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1990, dan menyelesaikan pendidikan pascasarjana pada 1995. Tapi jalan hidupnya tak langsung masuk ke dalam struktur birokrasi hukum. Ia memulai langkah awalnya sebagai wartawan Harian Nusantara Jakarta dari 1968 hingga 1972. Sebuah awal yang membentuk kepekaan sosial dan keberanian intelektualnya. Sebagai jurnalis, ia belajar menyuarakan suara-suara yang tak terdengar, sesuatu yang kelak akan ia bawa dalam profesi hukumnya.
Pada dekade 1980-an, Arman menjabat sebagai Direktur LBH Jakarta (1981–1984), sebelum menjadi Sekretaris Dewan Penyantun YLBHI. Di masa itu, LBH bukan sekadar lembaga bantuan hukum, tetapi juga tempat penempaan mental bagi para idealis hukum. Dan Arman berada di garis depan: membela rakyat kecil, menghadapi arogansi kekuasaan, dan tetap menjaga komitmen terhadap hukum yang berpihak pada keadilan sosial.
Pada 1992–1999, ia berkiprah sebagai notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun babak penting hidupnya dimulai ketika ia diangkat menjadi Hakim Agung Mahkamah Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999. Di sinilah sosok Arman mulai dikenal publik luas sebagai hakim berprinsip dan tidak mudah terombang-ambing oleh arus politik.
Momen yang paling monumental adalah ketika ia menyampaikan dissenting opinion dalam perkara besar korupsi yang melibatkan tokoh politik nasional. Saat mayoritas hakim menyatakan terdakwa bebas, Arman berdiri di sisi minoritas. Ia tidak menyuarakan suara populer, tetapi suara yang lahir dari hati nurani hukum. Sikap ini menunjukkan kualitas dasarnya: berani, mandiri, dan tak tunduk pada tekanan politik. Integritas inilah yang kemudian membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkatnya sebagai Jaksa Agung RI pada 2004. Dalam masa tugasnya hingga 2007, Arman berupaya keras membersihkan institusi kejaksaan dari praktik koruptif dan budaya kompromi. Ia membawa pendekatan moral ke dalam sistem hukum yang sering kali kehilangan arah.
Di tengah sorotan jabatan tinggi, Arman tetaplah pribadi bersahaja. Ia tidak tampil glamor, tidak mengejar popularitas. Bahkan, salah satu kisah paling menyentuh adalah tentang koleksi bukunya yang begitu banyak, hingga ia lebih memilih tinggal di rumah dinas LBH ketimbang di rumah pribadi, demi menampung seluruh bahan bacaan kesayangannya. Dalam dunia yang materialistis, ia memilih hidup dalam kekayaan ilmu. Tak ada cerita tentang korupsi. Tak ada skandal. Tak ada jejak ambisi politik. Yang tertinggal adalah jejak kejujuran dan pengabdian panjang yang tidak pernah ia pamerkan.
Setelah pensiun dari Kejaksaan Agung, Arman tidak lantas beristirahat. Ia dipercaya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Kerajaan Denmark dan merangkap Lithuania sejak 14 Juni 2008. Sebuah peran yang ia jalankan dengan penuh kehormatan, mewakili Indonesia dengan ketegasan, keanggunan, dan keilmuan yang khas. Bahkan di ranah diplomatik, ia tetap menjadi Arman yang sama: tidak mencari pujian, tidak tergoda fasilitas, tetapi konsisten mengabdi.
Kini, di usia senjanya yang telah usai, Arman meninggalkan kita bukan hanya dengan nama besar, tapi nilai besar. Bahwa hukum tak bisa dijalankan hanya dengan logika formal, melainkan dengan keberanian moral. Bahwa menjadi pejabat tak harus bergelimang kemewahan. Bahwa dalam diam, orang bisa mengubah sistem. Bahwa integritas adalah pilihan meski mahal harganya.

Indonesia hari ini sangat membutuhkan sosok seperti Abdul Rahman Saleh. Di tengah berbagai tudingan terhadap aparat hukum, intervensi kekuasaan, dan mentalitas transaksional, keteladanan Arman adalah cahaya. Mungkin kecil, tapi cukup untuk menerangi ruang gelap institusi.
Pertanyaannya bukan lagi siapa Arman, tapi: apakah kita sanggup melanjutkan nilai-nilai yang ia wariskan? Apakah kita masih memberi ruang bagi orang-orang jujur di dalam sistem? Apakah kita mendukung mereka yang memilih jalan sunyi seperti yang ditempuh Arman?
Mengenang sosok sang penegak hukum seperti Abdul Rahman Saleh bukan hanya soal penghormatan personal, tetapi juga cara kita menjaga ingatan kolektif tentang pentingnya integritas dalam demokrasi. Ia telah menunaikan tugasnya. Kini, giliran kita untuk menjaga nilai-nilai yang ia titipkan.
Selamat jalan, Pak Arman. Engkau bukan hanya penegak hukum, engkau penjaga nurani bangsa.
Karawang, 5 Juli 2025
Penulis: Mulyadi | Pemimpin Redaksi