Kaymita dari Bantar Gebang: Cermin Buram Pendidikan di Kabupaten Bekasi

Ilustrasi: Kaymita dari Bantar Gebang: Cermin Buram Pendidikan di Kabupaten Bekasi

Oleh: Mulyadi Pemimpin Redaksi

KabarGEMPAR.com – Dibalik megahnya gedung sekolah negeri dan program-program unggulan di dunia pendidikan, masih ada suara lirih dari anak-anak marjinal yang terpinggirkan. Salah satunya datang dari Kaymita Ayuni Putri Kaiman, seorang anak pemulung dari Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang baru saja menamatkan pendidikan dasarnya, namun harus menelan kenyataan pahit: ditolak masuk SMP Negeri.

Kaymita bukan sekadar nama. Ia adalah simbol. Simbol dari semangat belajar yang tak pernah padam, meski hidup dikelilingi keterbatasan ekonomi, lingkungan keras, dan stigma sosial. Sayangnya, semangat itu justru terbentur oleh kebijakan sistem zonasi dan administrasi penerimaan siswa baru yang tak berpihak pada mereka yang hidup di pinggiran.

Sistem zonasi semula digagas untuk mendorong pemerataan akses pendidikan. Namun dalam praktiknya, sistem ini kerap tak ramah terhadap anak-anak dari keluarga kurang mampu. Mereka yang tinggal di kawasan seperti Bantar Gebang, yang belum tentu masuk dalam radius zonasi sekolah negeri, seringkali tersisih sejak awal.

Apakah zonasi telah menjadi sistem yang adil? Atau justru alat eksklusi yang sistemik? Bagaimana nasib anak-anak yang tinggal di kawasan nonformal atau tidak memiliki surat domisili resmi? Apakah mereka harus terus terlempar ke sekolah swasta yang belum tentu terjangkau secara biaya?

Kaymita Layak Diperjuangkan

Kaymita bukan hanya layak diterima, tapi pantas diperjuangkan. Keberhasilannya menyelesaikan SD di tengah keterbatasan adalah bukti semangat yang luar biasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu kaku untuk memberi ruang pada anak-anak dengan cerita perjuangan seperti dirinya.

Menolak Kaymita berarti menutup masa depan anak-anak seperti dia. Ini bukan hanya soal pendidikan, ini soal keberpihakan. Apakah negara hadir untuk mereka yang paling membutuhkan, atau hanya untuk mereka yang sudah memiliki segalanya sejak lahir?

Saatnya Menghadirkan Kebijakan Afirmasi

Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat harus mulai menyusun kebijakan afirmatif, khususnya bagi anak-anak dari keluarga pemulung, buruh informal, dan masyarakat miskin kota. Jalur khusus, kuota inklusi, dan pendataan aktif harus menjadi bagian dari Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) setiap tahunnya.

Lebih dari itu, sekolah-sekolah negeri harus diarahkan untuk menjadi ruang inklusif, bukan eksklusif. Mereka harus mampu menerima keberagaman latar belakang ekonomi siswa, dan menjadikannya sebagai kekuatan, bukan kelemahan.

Suara dari Bekasi untuk Indonesia

Cerita Kaymita bukan hanya soal satu anak di Bantar Gebang. Ini tentang ribuan anak lain di Kabupaten Bekasi, dan jutaan di seluruh Indonesia, yang berjuang untuk pendidikan di tengah garis kemiskinan. Suara mereka nyaris tak terdengar, kecuali kita semua memilih untuk mendengarkan.

Mari kita jadikan kisah ini sebagai titik balik. Pendidikan adalah hak, bukan privilese. Anak-anak seperti Kaymita harus dilihat, didengar, dan diberi ruang untuk tumbuh. Karena di balik seragam lusuh dan sandal jepit mereka, ada semangat yang jauh lebih besar dari sekadar nilai rapor: semangat untuk bangkit.

Tentang Penulis:

Mulyadi, pemerhati sosial dan pendidikan. Aktif menulis opini dan esai di berbagai platform daring. Berdomisili di Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup