Pelanggan Protes Retribusi Sampah di Tagihan PDAM: Tak Ada Layanan, Tapi Tetap Bayar
KARAWANG | KabarGEMPAR.com – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Karawang yang menunjuk Perumdam Tirta Tarum (PDAM Karawang) sebagai pemungut retribusi pelayanan persampahan dan kebersihan melalui Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2024 menuai kritik tajam dari masyarakat. Warga menilai kebijakan ini tidak hanya dipaksakan, tetapi juga berpotensi melanggar aturan hukum yang lebih tinggi.
“Kami sebagai pelanggan PDAM merasa kebijakan ini dipaksakan. Jika menjadi kewajiban, seharusnya layanan persampahan bisa kami rasakan langsung,” ujar seorang warga yang menjadi pelanggan PDAM kepada KabarGEMPAR.com, Kamis (10/7/2025).
Warga menyoroti bahwa di sejumlah wilayah, termasuk Rengasdengklok, pelayanan kebersihan masih sangat terbatas. Sampah masih berserakan di pinggir jalan dan area permukiman, mencerminkan layanan yang belum merata.
“Petugas sangat terbatas. Di UPTD II Rengasdengklok, hanya ada 52 petugas dan 7 truk untuk melayani delapan kecamatan. Ini jelas tidak mencukupi,” keluh warga lainnya.
Tak hanya itu, masyarakat juga mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana retribusi. “Setiap bulan dana dipungut, tapi tidak ada penambahan armada, TPS, atau perluasan cakupan wilayah. Kami tidak tahu dana ini digunakan untuk apa,” ujar warga Rengasdengklok.
Sejumlah pihak menilai Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2024 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya pasal 87 (4): Wajib retribusi wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
Pasal ini menjadi dasar hukum jenis dan kewajiban retribusi, dan ayat (4) menegaskan bahwa pungutan retribusi hanya sah jika ada penggunaan atau pemanfaatan layanan secara langsung oleh pihak yang dikenai retribusi.
Jika pelanggan PDAM tidak mendapatkan layanan persampahan dan atau kebersihan secara langsung, maka berdasarkan Pasal 87 ayat (4) ini, mereka tidak seharusnya dikenai retribusi atas layanan yang tidak digunakan atau dinikmati.

Praktisi hukum Ibnu Mahtumi, SH., menegaskan bahwa retribusi tanpa layanan aktual berpotensi menjadi pungutan liar (pungli). “Tidak boleh ada pemungutan sebelum ada layanan. Jika tidak, maka dasar hukumnya lemah dan bisa digugat,” tegasnya.
Humas PDAM Karawang membenarkan adanya penarikan retribusi yang dilakukan secara otomatis bersamaan dengan pembayaran tagihan air pelanggan. “Dana tersebut kami setorkan ke Kas Daerah setiap bulan,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (14/7/2025).
Ia menambahkan, berdasarkan data per-Juli 2025, jumlah pelanggan PDAM Karawang tercatat sebanyak 111.946. Pelanggan dari kategori non-niaga dikenakan retribusi sebesar Rp 7.500 per bulan, sedangkan pelanggan niaga kecil dikenakan Rp 10.000. Sementara itu, pelanggan dari kategori sosial umum dan sosial khusus dibebaskan dari kewajiban retribusi ini.
“Selama periode Januari hingga Juli 2025, total dana retribusi yang berhasil kami kumpulkan mencapai sekitar Rp 4,4 miliar, atau rata-rata sekitar Rp 700 juta per bulan,” jelasnya.
Berbagai kalangan mendesak agar Pemkab Karawang mengevaluasi ulang kebijakan ini dan meningkatkan transparansi atas penggunaan dana retribusi. Masyarakat berharap agar setiap pungutan yang dibebankan benar-benar berbanding lurus dengan peningkatan layanan.
Namun, dengan belum meratanya layanan dan dasar hukum yang dipersoalkan, masyarakat mendesak agar pemerintah meninjau ulang Perbup tersebut. Regulasi daerah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku secara nasional.
Hingga berita ini dimuat, Dinas Lingkungan Hidup Karawang belum memberikan pernyataan resmi terkait respons atas keluhan masyarakat dan langkah perbaikan yang akan diambil.
Laporan: Tim Kabar Karawang | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com