Siswa Fiktif, Anggaran Nyata: Membongkar Wajah Buram Pendidikan di Bawah Kemenag

Ilustrasi KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – Satu demi satu, topeng kepalsuan mulai terkuak di balik megahnya angka-angka dalam sistem EMIS milik Kementerian Agama. Temuan tim investigasi KabarGEMPAR.com membongkar praktik yang mencederai integritas pendidikan berbasis agama: pemalsuan data peserta didik. Sebuah madrasah swasta di Kabupaten Karawang, yang pada semester ganjil tahun ajaran 2024/2025 tercatat memiliki 335 siswa, mendadak hanya menyisakan 70 siswa di semester genap. Tanpa data perpindahan, tanpa lulusan, tanpa logika. Yang tersisa hanyalah aroma kuat dari praktik rekayasa data untuk menyerap dana bantuan pendidikan yang seharusnya menjadi hak anak-anak Indonesia.

Yang menjadi sorotan bukan hanya madrasah ini. Fenomena ini diduga hanya puncak gunung es dari praktik sistemik di bawah Kementerian Agama. Mari lihat data EMIS 4.0 per Agustus 2025: terdapat 87.576 lembaga madrasah, 344.130 pondok pesantren, dan hampir 20 juta peserta didik. Tapi lihat betapa timpangnya distribusi pengawasan. Di pesantren, tercatat hanya 290 tenaga kependidikan untuk lebih dari 9 juta santri dan 1,1 juta pendidik. Bagaimana mungkin pengelolaan semasif ini dilakukan tanpa celah penyimpangan?

Kami meyakini, tidak semua madrasah dan pesantren kotor. Tapi ketika ruang pengawasan longgar, data tidak diverifikasi silang, dan tidak ada transparansi publik, maka yang jahat akan lebih cepat bergerak daripada yang jujur. Lembaga pendidikan agama yang semestinya menjadi cahaya peradaban justru bisa berubah menjadi ladang manipulasi.

Masalah ini bukan semata administratif. Ini menyangkut korupsi moral. Mengajarkan tauhid di kelas, tetapi di luar kelas bermain dengan angka palsu demi dana BOS. Mengutip ayat-ayat kejujuran, sambil mengirim data fiktif ke server pusat. Inilah kemunafikan birokratis yang tidak boleh dibiarkan.

Kementerian Agama tidak bisa terus bermain aman. Publik tidak butuh klarifikasi manis di media sosial. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret dan transparan:

Audit menyeluruh terhadap madrasah dan pesantren dengan data mencurigakan.

Integrasi data EMIS dengan Dukcapil untuk validasi by name–by address.

Pelibatan pihak independen dan BPKP dalam verifikasi dana bantuan.

Penegakan sanksi, mulai dari pencabutan izin hingga pelaporan pidana.

Jika Kementerian Agama tak mampu atau tak mau membersihkan lembaganya sendiri, maka Aparat Penegak Hukum (APH) wajib turun tangan. Kejaksaan, Kepolisian, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi harus masuk dan membuka praktik culas yang selama ini tertutup kabut keagamaan.

Kita tidak sedang mempermasalahkan ajaran Islam, melainkan oknum yang menggunakan agama untuk menutup-nutupi kebusukan administrasi. Jika tak diberantas sejak dini, generasi yang seharusnya dibina dalam kejujuran akan tumbuh dalam sistem yang penuh kepalsuan.

Kita ingin pendidikan agama yang bersih, transparan, dan bermartabat. Pendidikan yang tidak hanya mengajarkan nilai-nilai luhur di atas kertas, tapi juga mewujudkannya dalam praktik. Jika perlu, biarkan hukum yang berbicara, demi anak-anak kita, demi masa depan bangsa.

Editorial ini bukan seruan kebencian, tapi peringatan terakhir bahwa jika Kementerian Agama tak segera membersihkan rumahnya sendiri, maka korupsi dalam dunia pendidikan agama akan menjadi warisan kelam yang akan sulit ditebus.

Redaksi KabarGEMPAR.com

“Jurnalisme Kritis, Demi Generasi Bersih dan Pendidikan yang Bermartabat.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup