Misteri Penundaan DBHP Purwakarta Rp71,7 Miliar: Dokumen Dasar Hukum Tak Juga Dibuka

Penundaan penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) Kabupaten Purwakarta periode 2016-2018 senilai total Rp71,7 miliar belum juga terungkap

PURWAKARTA | KabarGEMPAR.com – Tujuh tahun sudah, misteri penundaan penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) Kabupaten Purwakarta periode 2016-2018 senilai total Rp71,7 miliar belum juga terungkap. Hingga kini, dokumen dasar hukum yang menjadi alasan penundaan tersebut tak kunjung dibuka ke publik.

Komunitas Madani Purwakarta (KMP), sebuah kelompok masyarakat sipil, telah dua kali melayangkan surat resmi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pemkab Purwakarta dan DPRD setempat. Isinya, permintaan informasi publik terkait alasan penundaan DBHP, lengkap dengan dokumen pendukungnya.

Namun, jawaban yang diterima justru dinilai tidak menjawab pokok pertanyaan. “Kami sudah mengirim surat pertama, tapi jawabannya tidak menyentuh inti masalah. Surat kedua kami kirim 21 Juli 2025, tetap saja substansi pertanyaan kami diabaikan,” kata Ir. Zaenal Abidin, MP., perwakilan Komunitas Madani Purwakarta, Kamis (14/8/2025).

Dalam surat kedua, Komunitas Madani secara rinci menanyakan:

• Apakah ada usulan eksekutif disertai alasan hukum yang memadai untuk menunda DBHP.

• Apakah saat itu terjadi krisis fiskal, bencana alam besar, atau keadaan darurat nasional.

• Apakah DPRD menyetujui perubahan APBD yang memuat revisi alokasi DBHP.

• Apakah ada keputusan bersama antara eksekutif dan legislatif.

• Apakah ada surat izin resmi dari Kemendagri dan Kemenkeu.

Menurut Zaenal, jika satu saja dari persyaratan itu tidak terpenuhi, penundaan DBHP tidak memiliki dasar hukum. DBHP bukan kebijakan diskresional kepala daerah, melainkan dana transfer wajib yang harus disalurkan tepat waktu. Menunda atau mengalihkan DBHP tanpa dasar yang sah disebut sebagai tindakan melawan hukum.

Dua dugaan pelanggaran hukum mengemuka:

1. Penyalahgunaan kewenangan – Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 UU Tipikor.

2. Memperkaya pihak tertentu – Pasal 2 dan Pasal 15 UU Tipikor.

Keduanya merupakan tindak pidana serius yang dapat menjerat pejabat terkait dengan ancaman pidana berat.

Zaenal mengatakan, jika penundaan DBHP memang sah, seharusnya membuka dokumen bukanlah hal yang sulit. “Ini soal transparansi dan akuntabilitas. Publik punya hak untuk tahu ke mana uang itu dialirkan,” ujar mereka.

Ia menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga semua data dibuka dan pertanggungjawaban diberikan.

“Negara ini butuh pemimpin yang rendah hati, jujur, dan berintegritas. DBHP 2016-2018 harus diungkap terang benderang,” tegasnya.

Laporan: Heri Juhaeri | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup