Buruh Desak PTKP Naik 7,5 Juta, Negara Bisa Kehilangan Triliunan

Buruh desak ambang batas PTKP naik jadi Rp 7,5 juta/bulan. Menkeu Purbaya: “Belum tahu, nanti kita lihat.”

JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Usulan buruh agar ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) naik dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 7,5 juta per bulan kembali mencuat. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, sebelumnya menyuarakan kenaikan tersebut demi meringankan beban pekerja sekaligus mendorong daya beli masyarakat.

Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku belum mengetahui detail usulan tersebut. “Kami belum bicarakan masalah itu. Kalau ada masukan ke tim di Kemenkeu mungkin bisa didiskusikan. Cuma karena saya baru, belum semua laporan masuk ke saya. Nanti saya lihat seperti apa,” kata Purbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Saat ditanya lebih lanjut apakah akan ada perhatian khusus dari pemerintah, Purbaya menjawab singkat: “Belum tahu, nanti kita lihat.”

PTKP Dianggap Terlalu Rendah

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai reformasi pajak dengan menaikkan PTKP dapat menggerakkan perekonomian. Menurutnya, ambang batas PTKP saat ini terlalu rendah.

“PTKP kita hanya Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Itu membuat masyarakat kelas menengah semakin tergerus karena penghasilannya langsung kena potong pajak,” ujar Huda.

Ia menambahkan, pajak seharusnya menjadi instrumen yang bisa menggerakkan ekonomi yang tengah lesu.

Risiko Defisit Anggaran

Namun, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan risiko fiskal yang harus diantisipasi. Menurutnya, pengalaman pada 2013 menunjukkan kenaikan PTKP 53% membuat penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi anjlok Rp 13 triliun.

“Kalau saat ini usulannya naik ke Rp 7,5 juta, artinya ada kenaikan 70%. Potensi kehilangan penerimaan negara tentu jauh lebih besar. Padahal belanja pemerintah lagi tinggi-tingginya, seperti subsidi energi, bansos, kesehatan, dan pendidikan,” jelas Yusuf.

Ia menegaskan, jika basis pajak formal menyempit drastis, pemerintah berisiko menutup celah lewat utang baru atau menaikkan tarif pajak lain, misalnya PPN atau cukai.

Dampak Jangka Panjang

Meski demikian, Yusuf mengingatkan bahwa studi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu pasca kenaikan PTKP 2013 menemukan pola menarik. Penurunan penerimaan PPh orang pribadi hanya berlangsung 1-2 tahun. Setelah itu, ekonomi pulih dan penerimaan pajak kembali normal seiring naiknya konsumsi masyarakat.

Dengan demikian, perdebatan kenaikan PTKP kali ini bukan hanya soal keberpihakan pada buruh, tetapi juga soal keseimbangan antara daya beli rakyat dan ketahanan fiskal negara.

Laporan: Tim Kabar Nasional | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup