Kasus Dewi vs Arifin: Antara Penipuan, Penggelapan, dan Politik Uang

Ilustrasi: KabarGEMPAR.com

Oleh Redaksi KabarGEMPAR.com

Kasus hukum yang melibatkan Dewi Yulianti, Caleg Partai Gerindra nomor urut 3, berasal dari Daerah Pemilihan 6 pada Pemilu 2024, dan Arifin Saputra, kini memasuki ruang publik dengan beragam persepsi. Dewi melaporkan Arifin ke Polres Karawang dengan tuduhan penipuan (Pasal 378 KUHP) dan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Tuduhan ini berangkat dari aliran dana ratusan juta rupiah yang diberikan Dewi kepada Arifin untuk disalurkan kepada seorang bernama Umam, sosok yang disebut-sebut mampu memengaruhi perolehan suara di KPU.

Dari sudut pandang hukum pidana, tuduhan penipuan mensyaratkan adanya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Fakta menunjukkan, Arifin tidak pernah membuat janji palsu. Justru inisiatif datang dari Dewi sendiri yang ingin dikenalkan dengan Umam. Arifin hanya berperan sebagai perantara. Dengan demikian, unsur penipuan tidak terpenuhi.

Adapun tuduhan penggelapan mengharuskan adanya penguasaan barang milik orang lain untuk kepentingan pribadi. Dana yang diterima Arifin dari Dewi terbukti seluruhnya disalurkan kepada Umam sesuai instruksi. Tidak ada indikasi bahwa Arifin menggunakan dana tersebut untuk keuntungan pribadi. Dengan demikian, unsur penggelapan pun tidak terpenuhi.

Posisi hukum Arifin jelas: ia hanyalah perantara yang menjalankan perintah. Dana Rp10 juta yang diterimanya dari Ajang Sopandi, di luar hubungan dengan Dewi, tidak dapat serta merta dikaitkan dengan laporan ini. Menjerat Arifin dengan pasal penipuan atau penggelapan adalah langkah hukum yang tidak tepat dan berisiko salah sasaran.

Namun, kasus ini membuka tabir lain yang lebih substansial: dugaan praktik politik uang. Aliran dana dengan tujuan “mengamankan suara” jelas masuk ranah tindak pidana pemilu. Inilah akar persoalan yang jauh lebih serius dibanding sekadar tuduhan penipuan atau penggelapan. Politik uang telah lama menjadi ancaman laten bagi demokrasi kita. Ia merusak integritas pemilu, menggeser orientasi politik dari gagasan menjadi transaksi, dan mencederai kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, KabarGEMPAR.com menilai bahwa penyelesaian kasus ini seharusnya tidak berhenti pada laporan di Polres Karawang. Aparat penegak hukum, Bawaslu, dan Sentra Gakkumdu mesti turun tangan untuk memastikan bahwa dugaan praktik politik uang ditangani secara serius.

Demokrasi tidak boleh diperdagangkan. Kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan uang. Kasus Dewi vs Arifin seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa kontestasi politik bukan arena transaksi, melainkan pertarungan gagasan untuk kepentingan rakyat.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup