Bank Sampah: Dari Limbah Menjadi Berkah
Penulis: Mulyadi | Pemimpin Redaksi
KABARGEMPAR.COM – Karawang tengah menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah. Pertumbuhan penduduk, industrialisasi, dan aktivitas ekonomi harian menghasilkan timbunan sampah yang kian meningkat, sementara TPA Jalupang sudah lama berada pada titik kritis. Menyadari hal ini, Pemerintah Kabupaten Karawang menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) No. 39 Tahun 2025 tentang Rencana Induk Sistem Pengelolaan Sampah (RISPS) sebagai pijakan menuju sistem pengelolaan sampah yang lebih terintegrasi, modern, dan berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, bank sampah perlu ditempatkan sebagai instrumen utama di tingkat desa. Konsepnya sederhana: masyarakat menabung sampah layaknya menabung uang di bank. Sampah yang disetor dipilah, ditimbang, lalu dicatat dalam buku tabungan. Nilai ekonominya bisa ditukar menjadi uang, sembako.
Bank sampah adalah wujud nyata penerapan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Ia bukan sekadar sarana teknis, melainkan gerakan perubahan perilaku masyarakat. Dengan bank sampah, rumah tangga belajar memilah, menghargai, dan mengelola sampah secara bertanggung jawab.
Manfaatnya berlapis. Lingkungan terbebas dari penumpukan sampah dan pencemaran. Ekonomi rumah tangga terbantu dengan tambahan penghasilan. Secara sosial, bank sampah menguatkan gotong royong, solidaritas, dan kepedulian kolektif terhadap kebersihan desa.
Dasar hukumnya pun jelas. Permen LH No. 13 Tahun 2012 menegaskan pedoman pelaksanaan bank sampah di seluruh Indonesia. Dengan hadirnya Perbup 39/2025, Karawang memiliki payung hukum yang lebih spesifik untuk menjadikan bank sampah sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah terintegrasi, dari hulu hingga hilir.
Namun, kita tak boleh menutup mata terhadap kendala. Rendahnya partisipasi warga, keterbatasan fasilitas, hingga harga jual sampah yang fluktuatif masih menjadi masalah klasik. Di sinilah dibutuhkan sinergi nyata. Pemerintah daerah harus mendorong bank sampah lewat dukungan regulasi, fasilitasi, dan pendanaan. Pihak swasta dan BUMN dapat masuk melalui program CSR, sementara komunitas lokal menjadi motor penggerak di tingkat akar rumput.
Bank sampah bukan hanya solusi teknis, tetapi juga peluang bisnis pedesaan. Dengan manajemen yang baik, ia bisa berkembang menjadi unit usaha berbasis lingkungan, membuka lapangan kerja, dan memberi nilai tambah bagi masyarakat. RISPS Karawang akan kehilangan roh jika hanya berhenti di atas kertas. Ia akan bernyawa jika dijalankan bersama rakyat, melalui gerakan bank sampah di tiap desa.

Karawang tak boleh lagi menunda. Saatnya menjadikan sampah bukan beban, melainkan sumber berkah. Dengan bank sampah, kita bisa membuktikan bahwa desa mampu menjadi motor ekonomi hijau, yang menyehatkan lingkungan sekaligus menyejahterakan masyarakat.*