PBB-P2 Karawang: Kepastian Hukum, Keadilan Sosial, dan Tantangan Pemerintah Daerah

Kantor Bupati Karawang. (Foto: karawang.go.id)

Editorial KabarGEMPAR.com

MULAI 1 Januari 2026, Pemerintah Kabupaten Karawang akan menerapkan kebijakan baru dalam Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2025, yang merevisi Pasal 8 Perda Nomor 17 Tahun 2023. Dengan kebijakan baru, sistem tarif berjenjang berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang selama ini berlaku diganti dengan tarif flat sebesar 0,25% untuk seluruh objek pajak. Hanya lahan produksi pangan dan ternak yang mendapatkan tarif lebih rendah, yaitu 0,11%.

Perubahan ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi pemungutan pajak. Secara prosedural dan hukum, langkah ini tampak logis dan mudah diterima. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan besar: apakah kebijakan ini tetap memperhatikan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat?

Secara hukum positif, langkah Pemkab Karawang tidak bermasalah. UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif PBB-P2. Selain itu, PP No. 35 Tahun 2022 menetapkan batas maksimal tarif PBB-P2 sebesar 0,5%. Dengan tarif flat 0,25%, Kabupaten Karawang masih berada jauh di bawah batas maksimum tersebut.

Hukum memberi ruang, dan Pemkab Karawang berada dalam jalur legal. Tidak ada pihak yang bisa secara sah menolak penerapan tarif flat ini hanya berdasarkan landasan hukum. Dengan kata lain, dari perspektif kepastian hukum, Perda Nomor 6 Tahun 2025 sah dan dapat diterapkan.

Namun, legalitas hanyalah satu sisi dari persoalan. Aspek yang lebih penting dan sensitif adalah keadilan fiskal. Sistem tarif berjenjang sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 17 Tahun 2023 selama ini mencerminkan prinsip keadilan (equity). Wajib pajak dengan NJOP rendah membayar pajak lebih ringan, sedangkan pemilik properti besar membayar lebih tinggi. Hal ini selaras dengan asas ability to pay, yaitu kemampuan membayar sesuai kapasitas.

Dengan diterapkannya tarif flat, keadilan tersebut tergeser demi kesederhanaan administrasi. Wajib pajak dengan rumah sederhana dan NJOP rendah kini membayar pajak lebih tinggi dibanding sebelumnya. Contohnya, rumah dengan NJOP mendekati Rp1 miliar sebelumnya hanya membayar tarif 0,12%, namun kini harus membayar 0,25%. Sebaliknya, pemilik properti bernilai puluhan miliar tetap membayar tarif 0,25%, sama dengan masyarakat kecil.

Hal ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, kebijakan flat memang membuat administrasi lebih sederhana dan mudah diawasi. Di sisi lain, masyarakat yang ekonomi menengah ke bawah justru menanggung beban lebih besar. Dengan kata lain, kesederhanaan administrasi berpotensi mengorbankan keadilan sosial.

Kebijakan pajak yang tidak sensitif terhadap kemampuan masyarakat dapat menimbulkan resistensi sosial. Masyarakat kecil bisa merasa terbebani, sementara persepsi ketidakadilan bisa menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah daerah.

Selain itu, dari perspektif ekonomi lokal, kenaikan tarif bagi masyarakat menengah ke bawah dapat mempengaruhi daya beli, terutama bagi mereka yang memiliki rumah atau tanah dengan NJOP menengah. Beban tambahan ini, meski secara nominal terlihat kecil, bisa berdampak signifikan bagi rumah tangga dengan penghasilan terbatas.

KabarGEMPAR.com menilai bahwa Pemkab Karawang masih memiliki ruang untuk memperbaiki kebijakan ini agar lebih adil dan berkeadaban. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:

1. Meninjau kembali penerapan tarif flat dan mempertimbangkan sistem berjenjang yang tetap sederhana namun adil.

2. Memberikan insentif atau pengurangan pajak bagi wajib pajak kecil, misalnya melalui tax relief, pengecualian tertentu, atau mekanisme subsidi silang dari objek pajak besar.

3. Melakukan sosialisasi masif dan terbuka agar masyarakat memahami alasan perubahan, mekanisme perhitungan, dan manfaat kebijakan bagi pembangunan daerah.

Hukum memang memberi kepastian, tetapi pajak bukan sekadar soal kepastian hukum. Pajak adalah instrumen untuk keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Jika tujuan akhir pajak adalah kesejahteraan masyarakat, maka mengorbankan keadilan demi kesederhanaan administrasi adalah langkah yang perlu dipertimbangkan kembali.

Kepastian hukum tanpa keadilan sosial hanya akan menciptakan persepsi ketidakadilan dan ketidakpuasan masyarakat. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab tidak hanya sebagai pengelola pajak, tetapi juga sebagai penjaga kesejahteraan dan keadilan masyarakat.

Penulis: Mulyadi
Pemimpin Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup