Dedi Mulyadi Minta Kepastian Hukum soal DBHP Purwakarta yang Tertunda

Ilustrasi

PURWAKARTA | KabarGEMPAR.com – Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mendatangi Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwakarta pada Jumat, 8 November 2025, untuk meminta telaah hukum terkait dugaan penundaan penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) Kabupaten Purwakarta periode 2016–2018. Kedatangan ini bertujuan agar ada kepastian hukum terkait isu yang selama ini ramai diperbincangkan.

Dalam video yang beredar luas, Dedi Mulyadi mengakui bahwa DBHP memang sempat tertunda. Ia menyatakan bahwa dana tersebut akan disalurkan pada bulan ini, sambil menoleh ke Bupati Purwakarta saat ini. Pernyataan ini memunculkan sorotan publik mengenai pengelolaan dana transfer ke pemerintah desa.

Komunitas Madani Purwakarta (KMP) menilai pernyataan Dedi Mulyadi justru menguatkan dugaan adanya pengalihan dana DBHP untuk membiayai proyek pembangunan daerah.

“Alasan pembangunan meningkat bukan dasar hukum penundaan. Jika DBHP ditunda tanpa kondisi luar biasa dan tanpa dituangkan dalam SILPA DBHP yang sah, maka itu bukan kebijakan, melainkan pelanggaran hukum,” kata Agus M. Yasin, SH, Sekretaris KMP.

DBHP Sebagai Transfer Wajib

Menurut KMP, DBHP termasuk mandatory transfer yang wajib disalurkan pada tahun anggaran berjalan sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, serta prinsip Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Penundaan hanya sah bila terjadi kondisi luar biasa dan dicatat dalam Perda Perubahan APBD yang menyertakan pos SILPA DBHP. Tanpa itu, penundaan dianggap melawan hukum administratif dan berpotensi pidana.

Indikasi Pengalihan Dana

Pernyataan Dedi Mulyadi yang mengakui keterlambatan penyaluran DBHP menimbulkan dugaan adanya pengalihan belanja transfer untuk membiayai pembangunan infrastruktur. KMP menilai hal ini berpotensi melanggar:

Pasal 3 UU Tipikor, terkait penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara;

Pasal 162 ayat (1) Permendagri 77/2020, larangan pergeseran belanja tanpa persetujuan DPRD; dan

Asas “no expenditure without appropriation”, larangan pengeluaran tanpa dasar hukum anggaran.

“Pernyataan tersebut mengonfirmasi dugaan pengalihan dana. Kami mendesak Kejari Purwakarta menindaklanjuti temuan ini secara hukum,” ujar Zaenal, perwakilan KMP.

Desakan Penegakan Hukum Transparan

KMP menegaskan dukungannya pada telaah hukum objektif, namun mengingatkan bahwa tanggung jawab atas kebijakan masa lalu tidak bisa dihapus hanya dengan klarifikasi simbolik. Bukti administratif yang dimiliki KMP mencakup:

Dokumen Beban Transfer Bagi Hasil Pajak kepada Pemerintah Desa dalam laporan keuangan Pemkab Purwakarta;

Tidak adanya Perda Perubahan APBD 2016–2018 yang mengatur penundaan DBHP; dan

Ketiadaan SILPA DBHP dalam laporan keuangan daerah.

“Ini soal pertanggungjawaban penggunaan uang rakyat, bukan narasi politik. Penegakan hukum harus transparan,” tegas Agus.

Laporan: Tim Investigasi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *