Desakan Hukuman Mati bagi Koruptor Menguat, Warga Nilai Negara Gagal Lindungi Rakyat dari Kemiskinan
JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Desakan agar pemerintah bersama DPR segera mengajukan rancangan undang-undang (RUU) hukuman mati bagi pelaku korupsi kembali menguat. Warga menilai praktik korupsi yang kian merajalela telah memicu ketimpangan ekonomi dan memperparah penderitaan rakyat.
Aktivis antikorupsi Rismon Sianipar menyampaikan desakan tersebut di hadapan sejumlah awak media di Jakarta, Sabtu (13/12/2025). Ia menegaskan bahwa korupsi tidak lagi bisa dipandang sebagai kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang secara sistematis merampas hak hidup masyarakat luas.
“Setiap kali rakyat makan, minum, dan bekerja, negara memungut pajak. Namun para koruptor justru menikmati uang pajak itu. Saya tidak rela sebagai pembayar pajak,” tegas Rismon.
Menurutnya, negara selama ini gagal memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Ia menilai hukuman ringan, pemberian remisi, hingga fasilitas mewah di lembaga pemasyarakatan telah mencederai rasa keadilan publik dan memperkuat budaya impunitas.
Secara hukum, Rismon menegaskan bahwa negara sebenarnya memiliki dasar kuat untuk menjatuhkan hukuman berat terhadap pelaku korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional.
Bahkan, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor membuka ruang penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang melakukan perbuatan dalam keadaan tertentu, seperti saat negara dalam kondisi krisis ekonomi, bencana nasional, atau keadaan darurat lainnya.
Selain itu, Rismon menilai praktik korupsi bertentangan langsung dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Ketika kekayaan negara justru dirampok oleh segelintir elite, maka negara gagal menjalankan konstitusi,” ujarnya.
Rismon juga mengingatkan bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Menurutnya, korupsi secara langsung melanggar hak konstitusional tersebut karena menghilangkan akses rakyat terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Ia secara terbuka mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah tegas dengan mengajukan RUU khusus hukuman mati bagi koruptor serta memperkuat perampasan aset hasil kejahatan. Ia menilai langkah ekstrem tersebut diperlukan demi menyelamatkan masa depan bangsa.
“Langkah ini demi anak cucu kita. Tanpa tindakan tegas, rakyat akan terus miskin dan ketimpangan semakin parah. Saat ini, sepuluh persen elite menguasai sembilan puluh persen kekayaan nasional,” ujarnya.
Ia menilai tingginya rasio ketimpangan atau gini ratio membuktikan bahwa korupsi telah menjadi instrumen sistemik yang memperkaya segelintir elite sekaligus memiskinkan mayoritas rakyat.
Desakan hukuman mati bagi koruptor mencerminkan meningkatnya frustrasi publik terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dinilai tebang pilih dan belum menyentuh aktor-aktor besar. Sejumlah pengamat sebelumnya juga menilai pemberantasan korupsi akan terus stagnan tanpa keberanian politik untuk menjatuhkan hukuman maksimal serta perampasan aset secara menyeluruh sesuai prinsip asset recovery.
Meski demikian, wacana hukuman mati bagi koruptor masih memicu perdebatan karena berkaitan dengan prinsip hak asasi manusia. Namun Rismon menegaskan bahwa hak hidup rakyat banyak harus ditempatkan di atas kepentingan segelintir pelaku kejahatan ekonomi.
Masyarakat kini berharap pemerintah tidak lagi berhenti pada retorika antikorupsi, melainkan menghadirkan kebijakan hukum yang tegas, konstitusional, dan berpihak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Laporan: Tim Kabar Jakarta
