Di Balik UMK Tinggi, Pekerja Pemilah Sampah Karawang Bertahan dengan Rp 2,1 Juta
KARAWANG | KabarGEMPAR.com – Kabupaten Karawang dikenal sebagai salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Ratusan pabrik multinasional berdiri di daerah ini, menciptakan citra sebagai lumbung industri dengan standar upah yang tinggi. Tahun 2025, Karawang kembali mencatatkan diri sebagai daerah dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Kota Bekasi, yakni Rp 5.599.593,21.
Namun di balik megahnya angka UMK tersebut, terdapat kenyataan yang jauh berbeda dialami para pekerja harian lepas (PHL) di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karawang. Mereka yang setiap hari berjibaku dengan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) hanya menerima penghasilan jauh di bawah UMK, rata-rata Rp 2,1 juta per bulan.
Tim KabarGEMPAR.com yang menyambangi TPST Jayakerta di Kecamatan Jayakerta, TPST Mekarjati di Kecamatan Karawang Barat, dan TPST Cirejag di Kecamatan Jatisari pada 26 Agustus 2025 mendapati keluhan serupa dari para pekerja.
Di Jayakerta, seorang pemilah sampah mengaku hanya membawa pulang Rp 2,1 juta setiap bulan, tanpa adanya jaminan sosial penuh. “Kalau dihitung rata-rata, kami hanya dapat Rp 2,1 juta sebulan. Itu pun tanpa jaminan sosial penuh,” ujarnya.
Di TPST Cirejag, kondisi tersebut juga diakui langsung oleh Kepala TPST, Hadijah. Menurutnya, bukan hanya operator yang menerima upah minim, melainkan hampir seluruh posisi di tempat itu. “Operator hanya Rp 2,1 juta, admin kantor dan security Rp 2,4 juta, sedangkan saya sebagai kepala TPST hanya Rp 2,8 juta. Jauh dari UMK yang ada di Karawang,” kata Hadijah dengan nada lirih. Ia berharap pemerintah daerah tidak menutup mata. “Harapannya ada peningkatan pendapatan dari gaji bulanan. Karena biaya hidup di Karawang terus naik, sementara kami yang bekerja di lapangan justru mendapat jauh lebih kecil,” lanjutnya.
Hal senada diungkapkan pekerja di TPST Mekarjati. Mereka sadar statusnya sebagai pekerja harian lepas berbeda dengan buruh industri, namun tetap menuntut adanya keadilan. “Karawang ini UMK-nya tinggi, tapi kami jauh di bawah itu,” ujar salah satu pekerja.
Secara aturan, pekerja harian lepas yang digaji menggunakan anggaran belanja daerah memang tidak otomatis tunduk pada ketentuan UMK. Besaran upah mereka disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah daerah. Namun alasan klasik ini sering kali membuat kesejahteraan pekerja terabaikan, padahal peran mereka tak kalah vital dibanding tenaga kerja lain.
Ironi ini menyoroti kesenjangan yang tajam di Karawang. Di satu sisi, UMK tinggi menjadi kebanggaan dan daya tarik investasi. Namun di sisi lain, para pekerja yang justru menopang layanan publik di sektor kebersihan harus puas dengan penghasilan yang bahkan tidak mencapai setengah dari UMK.

Para Pekerjaberharap pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang mendengar aspirasi, terkait keluhan para pekerja di Jayakerta, Cirejag, dan Mekarjati.
Laporan: Tim Kabar Karawang | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com