“Di Rumah Reyot Itu, Kami Bertahan” – Kisah Pilu Keluarga Salim di Karawang
Oleh: Dedi Iskandar | Kabiro KabarGEMPAR
KABARGEMPAR.COM – Di sudut kampung, tepatnya di Dusun Dukuh Barat RT 02/01, Desa Dukuhkarya, terdapat sebuah rumah reyot yang nyaris roboh. Atapnya bocor, dindingnya dari triplek lapuk yang nyaris ambruk. Di sanalah, sepasang suami istri lanjut usia bernama Salim (70) dan Acah (65) menjalani sisa hidup mereka dengan penuh penderitaan.
Salim, dulunya seorang penarik becak di Pasar Rengasdengklok. Namun semua berubah sejak ia terpeleset di kamar mandi dan kakinya tak lagi bisa berjalan normal. Istrinya, Acah, mengalami nasib serupa stroke ringan setelah jatuh ke tanggul irigasi. Bukan tanpa sebab. Mereka tak punya WC di rumah. Untuk buang hajat saja, mereka harus ke pinggir saluran irigasi.
Kini, mereka hanya bisa terbaring lemah, tanpa biaya berobat, tanpa harapan besar, dan tanpa uluran tangan yang datang mengetuk pintu.
Dari empat anaknya, hanya dua yang tinggal dan berjuang: Acim dan Sarim. Acim keliling menjual garam demi sesuap nasi. Sementara adiknya, Sarim remaja yang seharusnya masih bersekolah setiap pagi memunguti barang bekas demi bisa membeli beras. Pekerjaan kasar yang terlalu berat untuk usia mereka.
“Kami nggak minta apa-apa… cuma ingin Bapak dan Ibu sembuh,” ucap Sarim dengan suara parau, matanya berkaca-kaca, baju lusuh, tangan kotor oleh bekas plastik dan kaleng yang ia pungut.
Tak ada jaminan hari esok. Tak ada harapan selain terus bertahan.
Hari-hari mereka adalah cerita tentang lapar yang dipaksakan, sakit yang ditahan, dan hidup yang dipertahankan hanya dengan semangat cinta dan tanggung jawab.

Salim menangis. Bukan karena sakit yang dideritanya, tapi karena tak bisa lagi membiayai anak-anaknya. Karena merasa tak mampu menjadi ayah yang kuat di masa tuanya. Ia hanya ingin ada yang datang mengetuk pintunya. Pemerintah desa, tetangga, siapa saja. Sekadar bertanya kabar atau menyampaikan, “Kami peduli.”
“Anak saya nggak bisa diandalkan, bukan karena mereka tak mau, tapi karena mereka juga hidup susah. Mereka cuma bisa mulung dan jual garam. Saya hanya ingin sekali saja ke dokter, agar istri saya bisa duduk lagi, bisa bicara lagi,” ucapnya dengan suara bergetar, sesekali menyeka air mata dengan punggung tangan.
Kisah keluarga Salim adalah kisah tentang ketabahan. Tentang perjuangan dua anak remaja yang menjadi tulang punggung. Tentang cinta yang sederhana, yang tak meminta balasan, hanya ingin sedikit pertolongan.
Jika Anda membaca ini, berhentilah sejenak. Tarik napas, dan bayangkan bagaimana rasanya hidup dalam
ketidakpastian. Lalu tanyakan pada diri kita, masihkah kita bisa berpaling dari mereka yang membutuhkan?