DPR dan Pemerintah Sepakat Soal RKUHAP: Sidang Bisa Disiarkan, Advokat Dapat Perlindungan

DPR-Pemerintah Sepakat di RKUHAP: Sidang Boleh Disiarkan, Advokat Dapat Kekebalan, Penghinaan Presiden Lewat Restoratif

JAKARTA | KabarGEMPAR.com – DPR RI dan Pemerintah resmi menyepakati sejumlah pasal krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) usai pembahasan intensif dalam Panitia Kerja Komisi III dan Kemenkumham, 9–10 Juli 2025. Beberapa isu penting mencuat, mulai dari siaran langsung persidangan, penghinaan terhadap Presiden, hingga perlindungan hukum bagi advokat.

Dari total 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sebanyak 1.386 DIM berhasil dibahas dan disepakati, termasuk 1.091 DIM yang bersifat substansial.

Larangan Siaran Langsung Dicabut

Salah satu poin penting adalah penghapusan larangan siaran langsung persidangan dalam Pasal 253 ayat (3) draf RKUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, ketentuan tersebut tidak relevan dimasukkan dalam KUHAP.

“Itu bukan hukum acara, bukan kewenangan pengadilan untuk menentukan apakah sidang disiarkan atau tidak. Aturannya lebih cocok di undang-undang pers atau penyiaran,” ujar Habiburokhman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 10 Juli 2025.

Pernyataan Habiburokhman diamini Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, yang menyebut larangan siaran langsung sebaiknya diatur dalam perundangan sektoral lainnya, bukan dalam KUHAP.

Penghinaan Presiden dan Restorative Justice

Poin lain yang disepakati adalah penanganan kasus penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang diarahkan ke skema restorative justice. DPR menilai pendekatan ini penting agar hukum tidak digunakan untuk membungkam kritik.

Habiburokhman menyebut bahwa penghinaan terhadap Presiden kerap tumpang tindih dengan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, penanganannya perlu kehati-hatian dan lebih baik diselesaikan dengan pendekatan non-litigasi.

Advokat Dapat Kekebalan Hukum

Pasal 140 RKUHAP yang mengatur impunitas advokat juga disepakati. Dengan ketentuan ini, advokat tidak dapat dituntut pidana atau perdata saat menjalankan tugas pembelaannya dengan itikad baik, baik di dalam maupun di luar persidangan.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk perlindungan profesi hukum yang selama ini rentan dikriminalisasi saat menjalankan tugasnya.

Catatan Redaksi

Revisi KUHAP ini akan menjadi dasar hukum acara pidana baru menggantikan regulasi lama warisan kolonial. Meski belum ada target waktu pengesahan, DPR dan Pemerintah menargetkan pembahasan tuntas pada masa sidang berikutnya.

Laporan: Tim Kabar Nasional | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup