Debitur Hidup dalam Bayang-Bayang Ketakutan Penyitaan Aset

Ilustrasi.

EDITORIAL KabarGEMPAR.com
Oleh: Mulyadi |Pemimpin Redaksi

KABARGEMPAR.COM – Di tengah tekanan ekonomi yang kian menghimpit masyarakat, banyak debitur kini hidup dalam ketakutan. Ancaman penyitaan aset oleh bank menjadi momok yang menghantui keseharian mereka. Rumah tempat tinggal, tempat usaha yang menjadi sumber nafkah, hingga kendaraan yang menopang penghidupan keluarga, semuanya terasa berada di ambang hilang sewaktu-waktu. Ketakutan ini muncul bukan karena mereka tidak beritikad baik, melainkan karena mekanisme penagihan dan eksekusi yang sering dilakukan secara sepihak, minim komunikasi, dan tidak jarang disertai intimidasi.

Praktik penyitaan jaminan oleh sejumlah bank kembali menjadi sorotan publik. Ironisnya, banyak debitur yang sesungguhnya berusaha memenuhi kewajiban justru diperlakukan seolah mereka adalah pelanggar hukum. Padahal dalam ekosistem keuangan yang sehat, debitur bukanlah objek penindasan prosedur, melainkan mitra yang hak-haknya wajib dilindungi.

Benar bahwa bank memiliki kewenangan untuk mengeksekusi jaminan ketika kredit dinyatakan macet. Namun kewenangan tersebut bukanlah senjata absolut yang bisa digunakan tanpa batas. Berbagai laporan menunjukkan tindakan eksekusi dilakukan secara tergesa-gesa, minim dialog, bahkan mengabaikan prosedur resmi. Pemasangan plang “sita” tanpa pemberitahuan tertulis, kedatangan debt collector yang tidak bersertifikasi, hingga ancaman lelang yang tidak melalui KPKNL merupakan potret buram yang masih terjadi di berbagai daerah.

Praktik semacam itu bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. UU Hak Tanggungan maupun UU Fidusia memang memberikan hak eksekusi kepada kreditur, tetapi tidak pernah meniadakan kewajiban prosedural yang harus dijalankan. Bank wajib memberikan penjelasan transparan, menyediakan ruang negosiasi yang layak, serta memberikan kesempatan restrukturisasi. Ketika aspek-aspek ini diabaikan, debitur bukan saja dirugikan, melainkan berhak menggugat.

Realitas di lapangan memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Sistem lebih berpihak kepada lembaga keuangan dibanding kepada masyarakat kecil yang sedang berjuang bertahan. Debitur yang meminta keringanan dipersulit. Yang berusaha membayar sebagian kewajiban tidak dilayani. Yang mengajukan restrukturisasi berbulan-bulan tidak mendapat jawaban. Namun di sisi lain, ancaman eksekusi dapat muncul begitu cepat, sering tanpa ruang dialog.

Kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memperketat pengawasan terhadap perilaku industri keuangan. Aduan masyarakat tidak cukup dicatat, tetapi harus ditindak. Debt collector ilegal harus dihentikan. Eksekusi tanpa lelang resmi harus diberi sanksi. Dan bank yang terbukti menyalahgunakan kewenangan wajib diberikan teguran hingga tindakan administratif tegas.

Debitur bukan kriminal. Mereka adalah warga negara yang sedang mengalami kesulitan, banyak di antaranya terdampak perubahan ekonomi global yang tidak mereka ciptakan. Menekan mereka dengan ancaman penyitaan tanpa dialog bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak manusiawi. Negara harus hadir untuk melindungi, bukan membiarkan sistem yang menekan masyarakat kecil.

Editorial ini menegaskan perlunya reformasi menyeluruh dalam mekanisme penyelesaian kredit bermasalah. Debitur harus ditempatkan sebagai pemegang hak yang dilindungi, bukan pihak yang harus tunduk tanpa suara. Penyelesaian kredit macet harus mengedepankan empati, transparansi, dan itikad baik dua arah.

Sektor perbankan memang penting bagi stabilitas ekonomi nasional. Namun stabilitas itu tidak boleh dibangun dengan mengorbankan rakyat yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Keadilan sejati adalah keadilan yang dapat dirasakan oleh semua pihak bukan hanya oleh institusi yang kuat secara finansial.

Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *