Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Siap Dihujat, Kebijakan Satu Kelas 50 Siswa Tuai Polemik
BANDUNG | KabarGEMPAR.com – Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memperbolehkan 50 siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri menuai pro dan kontra. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan bahwa ia siap menerima kritik, hujatan, bahkan gugatan atas keputusan yang dinilai tidak populer ini.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Program Penanggulangan Anak Putus Sekolah (PAPS), yang menargetkan zero anak putus sekolah di Jabar dalam tiga tahun mendatang. “Saya siap dihujat, dikritik, dituntut bahkan digugat. Saya tidak akan mencabut kebijakan ini. Jika anak tidak diterima sekolah hanya karena aturan rombel, itu sama saja membiarkan dia kehilangan masa depan,” ujar Dedi saat meninjau PPDB di Kabupaten Bandung Barat, Sabtu(12/7/2025).
Dedi Mulyadi menjelaskan, kebijakan ini hanya diterapkan pada wilayah dengan keterbatasan daya tampung sekolah atau daerah terpencil yang belum memiliki cukup infrastruktur pendidikan. Ia mencontohkan kasus di mana sekolah hanya memiliki daya tampung 480 siswa, namun jumlah pendaftar mencapai 500 orang. Alih-alih menolak 20 siswa, sekolah diminta tetap menerima mereka meski harus menambah jumlah siswa dalam satu kelas. “Negara tak boleh kalah oleh data Dapodik. Kita harus utamakan hak anak untuk mendapat pendidikan,” tegas Dedi.
Kebijakan ini langsung memicu reaksi dari sejumlah pihak, terutama sekolah swasta. Mereka khawatir kebijakan tersebut akan membuat calon siswa semakin menumpuk di sekolah negeri, sementara sekolah swasta kekurangan murid. Akademisi dan organisasi guru juga mengkritisi kebijakan tersebut karena bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021, yang mengatur batas maksimal 36 siswa per rombel untuk jenjang SMA/SMK.
Saepuloh, Ketua Pengurus Cabang Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Barat, menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan persoalan administratif. Menurutnya, sistem Dapodik tidak akan bisa mencatat siswa di luar batas ketentuan, sehingga siswa ke-37 hingga ke-50 berpotensi tidak mendapatkan NISN, ijazah, dana BOS, hingga beasiswa.
Ia menyebut kebijakan ini dapat masuk ranah maladministrasi, terutama jika kepala sekolah dipaksa mengikuti arahan gubernur yang tidak sesuai aturan pusat. Ia menambahkan bahwa guru dan operator sekolah bisa menjadi pihak yang dikorbankan karena menjalankan instruksi yang melanggar regulasi. “Jangan sampai niat baik pemerintah daerah justru menyusahkan sekolah dan siswa,” kata Saepuloh.
Dedi Mulyadi tetap bersikukuh pada pendiriannya. Ia mengaku terinspirasi dari perjuangan para pendiri bangsa yang rela menderita demi rakyat. “Kalau hari ini saya dimusuhi karena membela anak putus sekolah, saya siap. Tidak semua keputusan harus populer,” ungkapnya.
Sejumlah pakar pendidikan mendorong agar Pemprov Jabar mempertimbangkan opsi lain, seperti menambah rombel dengan sistem shift atau paralel, mengembangkan SMA Terbuka, serta memberdayakan sekolah swasta dalam skema PAPS dan subsidi pemerintah. Sinkronisasi kebijakan daerah dengan regulasi pusat juga menjadi syarat mutlak agar tidak menimbulkan kebingungan administratif di lapangan.

Kebijakan rombel 50 siswa memang berangkat dari semangat untuk membuka akses pendidikan seluas mungkin, terutama di daerah marginal. Namun tanpa regulasi yang sinkron dan dukungan administratif yang memadai, kebijakan ini justru dapat menimbulkan masalah baru, baik bagi siswa, sekolah, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan segera duduk bersama mencari solusi yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pendidikan.
Laporan: Tim Kabar Jabar | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com