Hibah Berlebihan: Ini Yurisprudensi MA yang Perlu Diketahui Masyarakat

Ilustrasi hibah tidak bisa ditarik kembali dan wajib diberikan dengan niat tulus tanpa imbalan.

KabarGEMPAR.com – Pemberian hibah kini menjadi hal yang lumrah dilakukan dalam hubungan sosial, baik di lingkungan keluarga maupun di luar itu. Namun, tahukah Anda bahwa pemberian hibah juga memiliki batasan hukum agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari?

Berdasarkan Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah perikatan yang dibuat oleh seseorang ketika ia masih hidup untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma kepada orang lain, yang penerimaannya dilakukan pada saat itu juga. Artinya,

hibah tidak bisa ditarik kembali dan wajib diberikan dengan niat tulus tanpa imbalan.

Tak hanya itu, aturan hukum juga menegaskan bahwa hibah harus dituangkan dalam akta autentik artinya dibuat secara resmi oleh notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 1682 dan 1683 KUHPerdata. Namun, untuk benda bergerak seperti kendaraan atau barang elektronik, aturan ini sedikit berbeda.

Mengacu pada Pasal 1687 KUHPerdata, hibah untuk benda bergerak berwujud cukup dilakukan dengan penyerahan langsung, tanpa perlu akta notaris. Meski tampak sederhana, pemberian hibah tidak boleh dilakukan secara sembarangan.

Satu hal penting yang patut diperhatikan: hibah tidak boleh membuat pemberi hibah jatuh miskin atau tidak mampu secara ekonomi setelah hibah dilakukan. Ini ditegaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 556 K/Sip/1971, yang hingga kini dijadikan rujukan penting dalam perkara-perkara sejenis.

Putusan ini dibacakan pada 8 Januari 1972 dalam sidang terbuka oleh Majelis Hakim Agung yang dipimpin oleh Prof. R. Subekti, S.H., bersama Sri Widowati Wiratmo Soekito, S.H. dan Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H. Mereka menilai bahwa hibah benda bergerak sah selama nilai barang yang dihibahkan masuk akal dan tidak memberatkan kondisi ekonomi pemberinya.

“Walaupun tidak ada ketentuan yang membatasi nominal hibah, tapi pemberian yang berlebihan dan tidak seimbang dengan kemampuan pemberi hibah, bisa dinilai tidak sah secara hukum,” demikian salah satu poin penting dalam putusan tersebut.

Yurisprudensi ini juga sejalan dengan prinsip “legitime portie”, yakni bagian mutlak dari harta warisan yang menjadi hak ahli waris dan tidak boleh dikurangi oleh hibah atau wasiat sepihak dari pewaris, seperti diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata.

Dengan demikian, pemberian hibah yang mengorbankan hak ahli waris atau membuat si pemberi jatuh miskin setelahnya, jelas bertentangan dengan hukum dan bisa dibatalkan.

Catatan Redaksi

Artikel ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat, bahwa walau niat berbagi adalah hal baik, tetap harus dilakukan dengan bijak dan sesuai hukum. Jangan sampai hibah yang diniatkan baik malah menimbulkan celaka di kemudian hari, baik secara ekonomi maupun secara hukum.

Semoga informasi ini bisa menjadi referensi berharga, terutama bagi para praktisi hukum, aparat pengadilan, hingga masyarakat umum yang hendak melakukan pemberian hibah.

Redaksi KabarGEMPAR.com mengajak pembaca untuk lebih peduli terhadap aspek hukum dalam kehidupan sehari-hari, agar tak tersandung persoalan di kemudian hari.

Penulis: Mulyadi

Sember: marinews.mahkamahagung.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup