Keluarga Miskin di Karawang: Kehilangan PKH, Berjuang Menghidupi Enam Anak
KARAWANG | KabarGEMPAR.com – Di sebuah rumah sederhana di Dusun Jamanti RT 014/RW 005, Desa Sabajaya, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang, hidup Parsiah (47), keluarga miskin dan rentan dengan sepuluh anak. Sejak suaminya meninggal, ia menjadi satu-satunya penopang keluarga besar. Empat anaknya sudah berkeluarga, tetapi enam lainnya masih ikut tinggal bersamanya.
Dari enam anak itu, dua terpaksa berhenti sekolah di bangku SMP dan SMA, dua masih berjuang di SD dan SMP, satu baru lulus SMK namun belum bekerja, dan satu lagi masih balita yang sangat membutuhkan perhatian. Semua kebutuhan hidup mereka kini bertumpu pada Parsiah.
Untuk bertahan hidup, Parsiah berjualan es kelapa di sekitar kampungnya. Dari hasil dagangan itu, ia hanya membawa pulang uang Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per hari itu pun kalau ia bisa berjualan. Tidak jarang ia terpaksa berhenti berdagang karena tidak memiliki modal untuk membeli kelapa.
“Saya biasanya dagang es kelapa, sehari dapat 30 sampai 50 ribu. Itu juga kalau ada dagang. Kadang tidak dagang karena modalnya tidak ada,” kata Parsiah dengan suara pelan.
Penghasilan kecil itu jelas tak cukup untuk menghidupi enam anak yang masih bersamanya. Parsiah harus memilih: membeli beras, ongkos sekolah anak, atau sekadar jajan sederhana untuk si balita.
Kesulitan Parsiah semakin berat ketika bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) yang selama ini menjadi tumpuan, tiba-tiba berhenti sejak dua tahun lalu. Padahal kartu PKH miliknya masih berlaku hingga 2027.
Saat mencoba mencairkan, ia hanya mendapati kenyataan pahit: namanya sudah dihapus dari daftar penerima. Ketua kelompok PKH menyampaikan hal itu singkat, tanpa penjelasan detail.
“PKH saya sudah tidak bisa cair. Katanya nama saya dihapus. Padahal kartu masih berlaku sampai 2027,” ucap Parsiah, menahan haru.

Parsiah berusaha keras agar anak-anaknya tetap sekolah. Namun, dua anaknya sering absen karena tidak ada ongkos. Satu anak yang baru lulus SMK kini menganggur di rumah, sementara si bungsu dititipkan ke saudara untuk dirawat.
“Harapan saya bisa dapat lagi bantuan PKH. Anak-anak masih butuh biaya sekolah. Kalau tidak, saya takut mereka ikut berhenti seperti kakak-kakaknya,” ujarnya lirih.
Ironi semakin dalam ketika Parsiah melihat kenyataan di lingkungannya. Warga yang memiliki sawah dan pekerjaan tetap masih menerima PKH maupun bansos lainnya.
“Yang punya sawah malah dapat. Saya yang tidak punya penghasilan, malah dihapus. Saya juga tidak pernah dapat bantuan pangan atau bansos lain,” keluhnya.
Dengan segala keterbatasan, Parsiah hanya bisa berdoa agar pemerintah kembali membuka mata. Ia ingin namanya dimasukkan lagi dalam daftar penerima PKH, supaya anak-anaknya bisa terus sekolah dan punya masa depan lebih baik.
“Saya cuma ingin anak-anak saya sekolah. Jangan sampai berhenti di tengah jalan hanya karena kami miskin,” katanya, matanya berkaca-kaca.
Program Keluarga Harapan sejatinya hadir untuk keluarga miskin dengan anak usia sekolah, balita, ibu hamil, penyandang disabilitas, atau lansia. Tetapi kisah Parsiah menjadi potret nyata bahwa di balik data penerima bansos, masih ada keluarga miskin yang tercecer tanpa kepastian.
Kontributor: Sugandi | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com