Janji Kerja yang Menyesatkan: Luka di Balik Impian Lulusan Sekolah Kejuruan

Ilustrasi: Pencari kerja menyerahkan sejumlah uang kepada oknum guru dan dijanjikan bekerja lewat orang dalam (Ordal).

Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com

KETIKA harapan untuk segera bekerja demi membantu ekonomi keluarga menjadi pijakan awal seorang lulusan sekolah kejuruan, tak ada yang lebih menyakitkan selain dikhianati oleh mereka yang seharusnya memberi arahan dan teladan. Itulah yang dialami oleh seorang alumni SMK di Karawang, yang justru terjerat dalam praktik “jalur belakang” yang manipulatif.

Bersama sejumlah pencari kerja lain, ia menyerahkan uang dengan harapan bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan manufaktur di kawasan industri. Janjinya terdengar mudah: cukup bayar separuh di awal, sisanya menyusul saat sudah mulai bekerja. Namun, setelah berbulan-bulan menunggu, tak ada kepastian. Pihak-pihak yang sebelumnya tampak meyakinkan kini menghilang dan menutup akses komunikasi.

Peristiwa ini bukan hanya soal satu individu yang dirugikan. Ini adalah cerminan dari persoalan sistemik dalam perlindungan terhadap lulusan SMK di Jawa Barat. Di tengah ketatnya persaingan dunia kerja, kurangnya akses informasi, serta minimnya pendampingan pasca kelulusan, praktik-praktik penipuan dengan embel-embel “jalur khusus” mudah tumbuh subur bahkan di lingkungan sekolah sendiri.

Jika dilihat dari sisi hukum, perbuatan ini memenuhi unsur pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Di sisi lain, dari perspektif hukum perdata, korban juga berhak menuntut ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata. Tetapi pertanyaannya: apakah lulusan dari desa, yang baru menapaki dunia kerja, cukup kuat menghadapi sistem yang tidak berpihak?

Kini saatnya publik bertanya lebih jauh: mengapa ruang pendidikan bisa diliputi oleh praktik seperti ini? Di mana peran pemerintah daerah dalam mengawasi proses rekrutmen kerja? Dan kapan dunia pendidikan benar-benar steril dari intervensi kepentingan pribadi?

Kasus ini adalah peringatan bagi semua pihak sekolah, pemerintah, perusahaan, dan aparat penegak hukum. Jangan sampai ruang belajar berubah menjadi ladang perburuan kesempatan bagi oknum yang mencari keuntungan dari ketidaktahuan lulusan baru. Jangan biarkan kepercayaan generasi muda lulusan kejuruan runtuh karena praktik semacam ini.

Satu lulusan mungkin bisa bertahan. Tapi bagaimana nasib mereka yang diam, terpaksa menerima, atau bahkan tak tahu sedang ditipu?

Diam Sama dengan Membiarkan: Pemerintah dan Penegak Hukum Harus Bertindak!

Pemerintah dan penegak hukum harus bertindak. Dunia pendidikan tidak boleh menjadi tempat di mana kejujuran dikalahkan oleh akal licik, dan harapan lulusan muda diperdagangkan oleh mereka yang haus keuntungan pribadi. Tidak cukup hanya mengutuk perbuatan ini secara moral, diperlukan tindakan nyata dan terukur.

Investigasi harus dilakukan secara menyeluruh, pelaku harus diadili, dan sistem harus diperbaiki. Sekolah harus diperkuat fungsinya sebagai ruang aman yang membentuk karakter, bukan tempat yang menjadi pintu masuk bagi praktik manipulatif.

Lulusan SMK dan anak-anak muda Indonesia layak mendapatkan perlindungan yang sepadan dengan semangat dan kerja keras mereka. Jika negara tidak hadir dalam situasi seperti ini, maka kepada siapa lagi mereka akan berharap? Jangan tunggu sampai kepercayaan itu hilang sepenuhnya. Jangan biarkan keheningan kita hari ini menjadi warisan kegagalan bagi generasi yang akan datang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup