Kasus Pelecehan Anak Tak Bisa Didamaikan: Negara Wajib Hadir, Restorative Justice Dilarang!
Opini Hukum KabarGEMPAR.com | Perlindungan Anak Bukan Sekadar Narasi
KABARGEMPAR.COM – Terungkapnya sejumlah kasus pelecehan anak di bawah umur yang justru berakhir dengan “penyelesaian kekeluargaan”. Di tengah jeritan keadilan bagi korban, muncul pertanyaan besar: mengapa kejahatan seberat itu bisa didamaikan?
Padahal, secara hukum, penyelesaian damai terhadap tindak pidana seksual dengan korban anak adalah pelanggaran aturan dan tidak sah secara hukum.
Aturan tersebut telah diatur secara tegas dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Peraturan yang Jelas dan Tegas
Dalam Perkap tersebut, tertulis dengan tegas di Pasal 5 ayat (1) huruf b):
“Restorative Justice tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang mengandung kekerasan, ancaman kekerasan, atau perbuatan asusila.”
Dan diperkuat kembali dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e):
“Tidak dapat diterapkan pada tindak pidana terhadap anak sebagai korban.”
Kedua pasal ini merupakan pagar hukum yang tidak bisa ditawar. Begitu unsur kekerasan seksual dan korban anak terlibat, maka restorative justice otomatis tidak dapat diterapkan.
Anak Belum Cakap Hukum, Negara Wajib Melindungi
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam konteks hukum, anak belum dianggap cakap memberikan persetujuan, apalagi dalam tindakan seksual.
Oleh karena itu, segala bentuk “hubungan suka sama suka” dengan anak tetap dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Negara berkewajiban melindungi korban anak, bukan menekan mereka agar berdamai dengan pelaku.
Praktisi hukum Asep Agustian, SH., MH., kepada KabarGEMPAR.com menegaskan:
“Negara harus berdiri di sisi korban, bukan menjadi penonton atau malah memfasilitasi damai. Anak tidak bisa dianggap setara secara hukum. Setiap perdamaian dalam kasus ini adalah bentuk pelecehan terhadap hukum itu sendiri.”
Asep juga menambahkan bahwa restorative justice hanya diperuntukkan bagi tindak pidana ringan, seperti pencurian kecil atau perusakan dengan kerugian di bawah Rp2,5 juta, dan tidak boleh ada korban anak.
Perdamaian yang Menyakitkan
Banyak keluarga korban yang terpaksa menerima “jalan damai” bukan karena rela, tetapi karena tekanan sosial, rasa malu, atau bujukan aparat dan pelaku.
Di sisi lain, korban anak justru menanggung beban psikologis jangka panjang, sementara pelaku bebas melenggang.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana konsep “kekeluargaan” sering disalahgunakan untuk menghapus jejak kejahatan seksual, padahal hukum sudah sangat jelas melarangnya.
“Ketika pelaku dibiarkan bebas karena alasan damai, maka hukum telah kehilangan maknanya,” ujar Asep Agustian menegaskan.
Kejahatan Seksual adalah Delik Berat
Kasus pelecehan atau persetubuhan terhadap anak bukan delik ringan, melainkan kejahatan serius (serious crime).
Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan, pelaku dapat dijatuhi pidana penjara maksimal 15 tahun, bahkan diperberat bila pelaku adalah tenaga pendidik, aparat, atau orang yang memiliki hubungan kekuasaan terhadap korban.
Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga menegaskan hak korban untuk mendapatkan pendampingan psikologis, restitusi, dan pemulihan sosial.
Dengan demikian, menyelesaikan kasus anak dengan cara damai adalah bentuk pengkhianatan terhadap sistem hukum nasional.
Keadilan Restoratif Tidak Berlaku untuk Semua Kasus
Keadilan restoratif memang diciptakan untuk memberi ruang penyelesaian damai dalam kasus ringan. Namun, ketika diterapkan pada kejahatan seksual terhadap anak, mekanisme ini menjadi senjata yang melukai korban.
Negara tidak boleh memberi ruang bagi pelaku untuk bersembunyi di balik istilah “perdamaian”.
Isi Lengkap Pasal 5 Perkapolri No. 8 Tahun 2021
Pasal 5 ayat (1):
Restorative Justice tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang:
a. Menimbulkan korban jiwa;
b. Mengandung kekerasan, ancaman kekerasan, atau perbuatan asusila;
c. Menimbulkan keresahan masyarakat;
d. Dilakukan oleh residivis;
e. Terhadap keamanan negara.
Pasal 5 ayat (2):
Restorative Justice juga tidak dapat diterapkan pada tindak pidana terhadap:
a. Aparat penegak hukum;
b. Anak sebagai korban;
c. Perkara yang menjadi perhatian publik luas.
5 Alasan Kasus Anak Tak Bisa Didamaikan
1. Anak belum cakap hukum dan tak bisa memberi persetujuan sah.
2. Negara wajib melindungi anak, bukan memfasilitasi pelaku.
3. RJ hanya untuk tindak pidana ringan, bukan kejahatan seksual.
4. Perdamaian berpotensi menekan korban dan menghilangkan bukti.
5. Undang-undang sudah menetapkan hukuman berat untuk pelaku.
Seruan Moral dan Hukum
Redaksi KabarGEMPAR.com menilai, praktik penyelesaian kasus pelecehan anak melalui jalur damai adalah bentuk penyimpangan hukum dan moral.
Aparat penegak hukum wajib berpegang pada pro justicia — menegakkan hukum demi keadilan korban, bukan demi kenyamanan pelaku.
“Kita tidak sedang mencari balas dendam, kita sedang menegakkan keadilan. Dan keadilan berarti memastikan pelaku menerima hukuman yang setimpal,” ujar Asep menutup pernyataannya.
Kesimpulan Redaksi
Setiap kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 sudah jelas melarang restorative justice untuk kasus asusila dan kasus dengan korban anak.
Negara, aparat penegak hukum, dan masyarakat harus berpihak pada korban, bukan pada pelaku.
Keadilan bukan tentang berdamai, tetapi tentang memastikan pelaku dihukum dan korban mendapatkan pemulihan yang layak.
KabarGEMPAR.com
“Mengungkap Fakta, Gemparkan Berita”
