Kemarahan Publik Tak Bisa Dijawab dengan Kekerasan
Editorial KabarGEMPAR.com
Penulis: Mulyadi | Pemimpin Redaksi
KRISIS Kepercayaan terhadap wakil rakyat kini memasuki fase yang mengkhawatirkan. Rumah pejabat negara menjadi sasaran amarah massa, dirusak, dan didatangi dengan kemarahan terbuka. Peristiwa ini menggambarkan jurang kepercayaan yang semakin dalam antara rakyat dan wakilnya, serta potensi meluasnya ketidakpuasan sosial menjadi tindakan yang merugikan semua pihak.
Dalam hukum pidana Indonesia, perusakan terhadap rumah atau harta benda orang lain tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun. Pasal 406 KUHP dengan tegas mengatur ancaman pidana penjara bagi siapa pun yang merusak barang milik orang lain. Apalagi, jika dilakukan secara beramai-ramai, tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kekerasan bersama sebagaimana Pasal 170 KUHP, dengan ancaman hukuman lebih berat.
Namun demikian, peristiwa ini juga menjadi alarm keras bagi para wakil rakyat. Tindakan hukum memang penting untuk menjaga ketertiban, tetapi penegakan hukum saja tidak akan menyelesaikan akar masalah. Kemarahan massa lahir dari kekecewaan mendalam terhadap wakil rakyat yang dianggap gagal mewakili suara konstituen, abai terhadap persoalan rakyat, dan larut dalam kepentingan politik sendiri.
KabarGEMPAR.com menegaskan bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak bisa menjadi saluran aspirasi. Demokrasi menyediakan jalur konstitusional untuk menyampaikan kritik dan protes. Namun di sisi lain, wakil rakyat juga harus bercermin: sejauh mana mereka benar-benar mendengar dan memperjuangkan suara rakyat, bukan sekadar hadir di panggung politik tanpa empati.
Negara wajib hadir untuk menegakkan hukum, melindungi warga, dan memastikan ketertiban umum. Tetapi di atas itu semua, kepercayaan publik adalah modal utama demokrasi. Tanpa itu, kekacauan sosial akan terus berulang, dan jarak antara rakyat dengan wakilnya kian sulit dijembatani.*