Melemahkan Pers, Mengancam Demokrasi
Editorial KabarGEMPAR.com
KABARGEMPAR.COM – Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang secara terang-terangan mengajak masyarakat dan aparatur pemerintahan untuk tidak lagi bekerja sama dengan media massa, layak mendapat sorotan kritis. Ia menyampaikan bahwa pemerintah cukup menggunakan media sosial seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook untuk menyebarluaskan informasi, tanpa perlu menjalin kemitraan dengan media profesional.
Pernyataan tersebut bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Ia mencerminkan cara pandang yang menyederhanakan peran pers dalam sistem demokrasi. Gubernur telah menempatkan media pada posisi yang keliru, seolah-olah media hanya alat penyampai informasi pemerintah, padahal media adalah pilar keempat demokrasi yang memiliki fungsi kontrol, edukasi, dan koreksi terhadap kebijakan publik.
Pernyataan tersebut viral dan segera menuai gelombang protes dari kalangan jurnalis, terutama di wilayah Bekasi Raya. Ratusan jurnalis dari berbagai organisasi pers secara tegas menyatakan bahwa ucapan gubernur bukan hanya bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan, tetapi juga tindakan yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pers Tidak Bisa Digantikan Media Sosial
Gubernur tampaknya gagal memahami perbedaan mendasar antara media sosial dan media jurnalistik. Media sosial merupakan ruang ekspresi yang tidak tunduk pada mekanisme verifikasi, kode etik, dan tanggung jawab hukum sebagaimana yang berlaku dalam kerja jurnalistik. Konten yang beredar di media sosial sangat rawan disinformasi, manipulasi, bahkan propaganda.
Mengandalkan media sosial semata sebagai kanal utama penyebaran informasi publik justru membuka ruang besar bagi lahirnya kesimpangsiuran informasi. Masyarakat bisa
kehilangan akses terhadap informasi yang berimbang, sebab tidak ada pihak independen yang menelaah, mengkritisi, dan menguji kebijakan publik secara objektif.

Efisiensi Tidak Boleh Mengorbankan Transparansi
Gubernur berdalih bahwa ajakan tersebut bertujuan menghemat anggaran negara. Namun alasan efisiensi tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dalam sistem demokrasi, informasi publik harus disampaikan melalui saluran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Media hadir sebagai penengah antara pemerintah dan rakyat.
Kerja sama dengan media bukan sekadar soal anggaran. Ia mencerminkan penghargaan terhadap fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara. Menganggap media sebagai beban anggaran menunjukkan ketidakpahaman terhadap ekosistem komunikasi publik yang sehat.
Kebebasan Pers Adalah Hak Konstitusional
Pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi telah melukai semangat kebebasan pers yang dijamin konstitusi. Pasal 4 Undang-Undang Pers menyebutkan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Selain itu, pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi.
Ketika pejabat publik justru menyebarkan pandangan yang meremehkan fungsi pers, hal ini dapat menciptakan preseden buruk bagi pejabat lainnya. Jika dibiarkan, narasi seperti ini dapat menumbuhkan budaya antikritik, serta memperkuat birokrasi yang eksklusif dan tertutup dari pengawasan publik.
Jurnalis Harus Tegak dan Kritis
Kami mendukung sikap tegas para jurnalis yang menyuarakan keberatan terhadap pernyataan gubernur. Protes yang disampaikan secara terbuka di Kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa insan pers tidak akan tinggal diam ketika martabat profesinya direndahkan. Namun lebih dari sekadar reaksi emosional, momen ini harus menjadi refleksi mendalam bagi seluruh insan media.
Pers harus tetap tegak. Di tengah arus digitalisasi informasi, media harus terus meningkatkan kualitas jurnalisme, memperkuat independensi, dan mendekatkan diri kepada kepentingan publik. Hanya dengan begitu, pers akan terus relevan dan menjadi rujukan utama masyarakat dalam mendapatkan informasi yang benar.
Demokrasi Tidak Bisa Bertumbuh di Ruang Hampa
Kami menyerukan kepada seluruh pejabat publik untuk bijak dalam menyampaikan pernyataan. Demokrasi tidak bisa tumbuh di ruang hampa informasi. Demokrasi butuh ruang kritik, butuh suara independen, dan butuh jurnalisme yang bebas dan bertanggung jawab. Upaya apa pun yang melemahkan posisi pers sama saja dengan melemahkan demokrasi itu sendiri.
Negara yang sehat adalah negara yang memberi ruang sebesar-besarnya bagi pers untuk bekerja. Maka kami mendesak agar Gubernur Jawa Barat segera mengklarifikasi pernyataannya, memulihkan hubungan dengan media, dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada komunitas pers.*
Penulis: Mulyadi | Pemimpin Redaksi
KabarGEMPAR.com – Mengungkap Fakta Gemparkan Berita