Mengurai Benang Kusut Ketidakadilan dalam Sistem Pendidikan Sekolah
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi
PENDIDIKAN semestinya menjadi jembatan menuju keadilan sosial. Namun di balik slogan “pendidikan untuk semua”, tersimpan ironi: praktik-praktik ketidakadilan yang meresap ke dalam sistem pendidikan kita, mulai dari tingkat kebijakan hingga pelaksanaannya di ruang kelas. Fenomena ini bukan semata isu teknis, tapi sudah menyentuh ranah pelanggaran hak warga negara atas pendidikan yang adil dan bermartabat.
1. Pungutan Liar dalam Wajah Iuran Sukarela
Meski Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya, kenyataannya sekolah negeri masih saja menarik berbagai pungutan. Iuran buku, seragam, hingga “uang gedung” yang dibungkus istilah sukarela kerap bersifat memaksa. Kondisi ini menempatkan keluarga kurang mampu dalam dilema: membayar atau menyaksikan anaknya diperlakukan tidak adil.
Hal ini bertentangan dengan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang secara tegas melarang pungutan wajib pada peserta didik atau orang tua. Ironisnya, praktik ini tetap berlangsung karena lemahnya pengawasan serta pembiaran oleh otoritas pendidikan setempat.
2. SPMB: Antara Zonasi dan Kursi Titipan
Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) dengan skema zonasi sebenarnya dimaksudkan untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan. Namun dalam praktiknya, sistem ini justru menjadi celah bagi masuknya praktik tidak adil: jual-beli kursi, siswa titipan, hingga permainan domisili.
Fenomena ini jelas melanggar asas keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik dalam pelayanan pendidikan. Di sisi lain, sekolah swasta tidak jarang hanya menjadi pelarian bagi siswa yang “terlempar” dari sistem zonasi, tanpa ada upaya afirmatif dari negara untuk mendukung keberlangsungan dan kualitasnya.

3. Diskriminasi Terhadap Sekolah Swasta dan Madrasah
Sekolah swasta terutama yang tidak memiliki afiliasi politik atau jaringan kuat seringkali dianaktirikan dalam distribusi bantuan pemerintah. Guru-guru berkualitas mereka berpindah ke sekolah negeri karena skema PPPK yang hanya menyasar lembaga negeri. Sementara itu, bantuan dana BOS yang diterima pun sering tidak proporsional atau tersendat karena mekanisme birokrasi.
Ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang tidak hanya melemahkan sekolah swasta, tapi juga melukai prinsip pluralitas pendidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 UU Sisdiknas.
4. Komersialisasi Buku dan Seragam
Banyak sekolah, baik negeri maupun swasta, yang menjadikan koperasi sebagai “jalur wajib” bagi pembelian seragam dan buku. Peserta didik diwajibkan membeli dari pihak sekolah, meski harga jauh lebih mahal dari pasaran. Hal ini tidak hanya membebani orang tua, tetapi juga membuka ruang konflik kepentingan antara pengelola sekolah dan vendor yang ditunjuk.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan telah mengatur bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan siswa membeli buku tertentu dari pihak tertentu. Sayangnya, pengawasan terhadap praktik ini hampir tidak ada.
5. Manipulasi Dana dan Rekrutmen Guru
Manipulasi data siswa demi menaikkan jumlah penerima BOS atau menambah nominal anggaran operasional merupakan praktik yang secara nyata merugikan negara dan siswa. Demikian pula dengan rekrutmen guru honorer yang dilakukan tanpa transparansi, lebih mengedepankan kedekatan personal dibanding kompetensi.
Ketika profesionalisme dikalahkan oleh nepotisme, maka pendidikan tidak lagi menjadi ruang tumbuh kembang anak bangsa, melainkan ajang mempertahankan status quo.
Menutup Luka dengan Kebijakan Berkeadilan
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah, bersama pengelola sekolah, mengevaluasi secara serius akar dari praktik-praktik ketidakadilan ini. Pendidikan bukan hanya soal bangku dan buku, melainkan tentang keberanian untuk menjamin bahwa setiap anak apa pun latar belakang sosial, ekonomi, atau afiliasi sekolahnya mendapat perlakuan yang setara dan bermartabat.
Kita tidak kekurangan regulasi. Yang kita butuhkan adalah penegakan yang konsisten, pengawasan yang jujur, dan keberpihakan terhadap siswa, bukan pada struktur atau lembaga. Pendidikan yang adil bukanlah janji, ia adalah amanat konstitusi.