Menjaga Harmoni Muspika dan MUI, Menghindari Friksi yang Tidak Perlu
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com
KABARGEMPAR.COM – Hubungan antara Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tingkat kecamatan idealnya bersifat sinergis dan saling memperkuat. Keduanya adalah elemen penting dalam menjaga harmoni sosial, stabilitas wilayah, serta menjembatani komunikasi antara masyarakat, pemerintah, dan umat beragama. Namun isu ketidakharmonisan yang mencuat di Kecamatan Sukawangi baru-baru ini menjadi alarm penting yang tak bisa diabaikan.
Pasalnya, sejak terpilihnya kepengurusan baru MUI Kecamatan Sukawangi, pihak camat dinilai tak lagi melibatkan MUI secara khusus dalam forum atau rapat strategis kecamatan, sebagaimana tradisi sebelumnya. Undangan yang diberikan hanya dalam format umum untuk organisasi keagamaan. Kalimat itu tak keliru secara administratif. Namun dalam konteks relasi sosial dan kultural, pendekatan semacam ini dianggap mengabaikan eksistensi serta kontribusi MUI yang selama ini aktif dan menjadi mitra penting pemerintah kecamatan.
Apakah ini persoalan teknis? Bisa jadi. Namun bisa juga mencerminkan gesekan komunikasi dan pergeseran pola koordinasi yang mengarah pada ketegangan laten. Padahal relasi Muspika dan MUI bukan sekadar soal undangan formal. Ia mencerminkan kemitraan strategis antara negara dan umat. MUI bukan hanya representasi keagamaan, tetapi juga mitra moral yang turut menjaga ketertiban sosial dan mencegah konflik berbasis agama.
Hubungan yang harmonis antara MUI dan Muspika seharusnya dibangun di atas prinsip saling menghargai. Muspika mesti melihat MUI sebagai pilar penting dalam memberikan pertimbangan keagamaan yang bijak. Sebaliknya, MUI juga perlu bersikap terbuka, aktif memberi masukan, serta tidak terpancing oleh bentuk-bentuk teknis birokratis yang bisa diselesaikan melalui dialog konstruktif.
Kita berharap, isu ini tidak dibesar-besarkan. Namun juga tak boleh disepelekan. Komunikasi adalah kunci. Sebab tanpa komunikasi yang baik, kerja sama yang paling strategis pun bisa rusak hanya karena miskomunikasi atau ego kelembagaan.
Jika benar ada jarak yang mulai tercipta, maka langkah yang paling bijak adalah mempertemukan kedua belah pihak dalam dialog terbuka. Tidak untuk mencari siapa benar dan siapa salah, tetapi untuk membangun kembali kesepahaman bersama bahwa menjaga stabilitas wilayah bukan tugas sepihak.
Kecamatan Sukawangi bisa menjadi contoh bagaimana kemitraan Muspika dan MUI diuji. Apakah bisa merawat kebersamaan dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, atau justru membiarkan prasangka tumbuh menjadi polemik yang tak perlu?

Masyarakat menunggu solusi, bukan polemik. Mari jaga Sukawangi tetap kondusif dan harmonis, dimulai dari keteladanan pemimpinnya.*