Menyoal Ketimpangan Pendidikan: Kebijakan Gubernur Jabar Dinilai Abaikan Peran Sekolah Swasta
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi
KABARGEMPAR.COM – Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan tanggung jawab utama pemerintah dalam menjamin pemenuhannya. Namun, saat kebijakan yang dilahirkan justru menciptakan ketimpangan baru, maka negara harus dikritik. Seperti yang kini terjadi di Jawa Barat.
Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah telah menimbulkan riak besar dalam dunia pendidikan, khususnya dari kalangan sekolah swasta. Dalam aturan tersebut, pemerintah provinsi memperbolehkan: sekolah negeri menerima hingga 50 siswa dalam satu kelas, dengan dalih mengatasi keterbatasan ruang belajar dan mencegah angka putus sekolah.
Sekilas, kebijakan ini tampak “pro-rakyat miskin”. Namun jika dicermati secara lebih mendalam, kebijakan ini tidak adil dan bahkan berpotensi menghancurkan ekosistem pendidikan swasta. Ini adalah bentuk keputusan sepihak yang tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan secara proporsional.
Pendidikan swasta selama ini menjadi penyokong penting dalam sistem pendidikan nasional. Di banyak daerah, terutama di kawasan padat penduduk dan wilayah pinggiran, justru sekolah swasta yang hadir lebih dulu dibandingkan sekolah negeri. Mereka hadir dengan segala keterbatasan, tapi konsisten memberikan pelayanan pendidikan tanpa banyak bergantung pada pemerintah.
Kini, ketika pemerintah daerah memperbesar kuota penerimaan sekolah negeri secara agresif, sekolah-sekolah swasta kehilangan peserta didik secara drastis. Dalam kondisi tersebut, mereka pun dituntut untuk tetap bertahan, bahkan memberikan pelayanan pendidikan gratis bagi siswa kurang mampu, tanpa diberi subsidi memadai oleh negara.
Kondisi inilah yang membuat Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta (FKSS) dan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) melayangkan protes keras. Mereka menyebut kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi sebagai bentuk ketidakadilan struktural dan penghinaan terhadap peran pendidikan swasta di Jawa Barat.
BMPS Kabupaten Bandung secara terbuka menyatakan bahwa keputusan gubernur tersebut “mencederai dunia pendidikan” dan “menginjak harga diri sekolah swasta.” Ketua BMPS Kabupaten Bandung menegaskan bahwa jika kebijakan ini tetap diberlakukan tanpa kajian ulang dan tanpa perlindungan terhadap lembaga pendidikan swasta, maka gelombang krisis keberlangsungan sekolah swasta tidak dapat dihindari.

FKSS Provinsi Jawa Barat bahkan telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, meminta intervensi pemerintah pusat agar membatalkan atau merevisi kebijakan tersebut. Dalam surat tersebut, FKSS menyebutkan bahwa Gubernur telah memihak sepenuhnya kepada sekolah negeri dan mengabaikan ribuan lembaga swasta yang telah berjuang di tengah keterbatasan selama puluhan tahun.
Lebih jauh, FKSS menyoroti fakta bahwa sekolah swasta kini
dibebani tugas sosial untuk mendidik anak-anak miskin, namun tidak diberi kepastian dukungan anggaran yang layak. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi swasta masih berbasis jumlah siswa, bukan beban operasional aktual. Dengan semakin sedikitnya siswa akibat tersedot ke negeri, maka sekolah swasta dipaksa hidup dari oksigen yang makin menipis.
Gubernur berdalih bahwa keputusan membuka kuota hingga 50 siswa per kelas bersifat sementara, hingga ruang kelas baru selesai dibangun pada Januari 2026. Namun banyak pihak meragukan janji ini. Pembangunan 736 ruang kelas dalam waktu sempit membutuhkan anggaran besar dan pelaksanaan yang tidak sederhana.
Di saat yang sama, proses belajar mengajar dipaksa berlangsung di ruang yang melebihi kapasitas ideal. Padahal, Permendikbudristek secara tegas menyebut bahwa jumlah siswa ideal per kelas adalah 32–36 orang, untuk menjamin kualitas pengajaran dan interaksi yang efektif.
Apakah Gubernur siap menanggung risiko pendidikan massal yang tidak berkualitas? Apakah mengorbankan mutu demi kuantitas bisa dibenarkan secara moral dan pedagogis?
Jika sekolah swasta akhirnya memilih “mogok” atau menghentikan layanan pendidikan sebagai bentuk protes, siapa yang akan menampung ribuan siswa itu? Sekolah negeri tentu tidak siap. Infrastruktur terbatas. Guru terbatas. Dana operasional juga terbatas.
Sudah saatnya pemerintah provinsi, dalam hal ini Gubernur Dedi Mulyadi, duduk bersama dengan seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Libatkan BMPS, FKSS, dan asosiasi swasta lainnya dalam setiap keputusan strategis. Pendidikan tidak boleh dikelola dengan kacamata sektoral. Negeri dan swasta adalah dua sisi dari satu sistem yang saling melengkapi.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan ajang pencitraan jangka pendek. Keputusan politik yang hanya mengejar statistik dan popularitas tanpa mempertimbangkan dampak sistemik justru akan meninggalkan kerusakan struktural dalam sistem pendidikan kita.
Kebijakan yang baik bukanlah kebijakan yang memukau di atas kertas. Kebijakan yang baik adalah yang adil, terukur, inklusif, dan berkelanjutan.
Negara harus hadir sebagai pelindung semua lembaga pendidikan, bukan hanya sekolah negeri. Jika tidak, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa secara adil, bermutu, dan menyeluruh.*