OTT KPK di Bekasi: Menguji Integritas Kekuasaan Daerah
EDITORIAL
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi
OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Bekasi pada Kamis malam, 18 Desember 2025, kembali menegaskan satu pesan penting dalam kehidupan bernegara: kekuasaan publik selalu berada di bawah pengawasan hukum. Penyegelan ruang kerja Bupati Bekasi bukan sekadar tindakan prosedural, melainkan simbol kuat bahwa negara tidak boleh kalah oleh praktik korupsi yang bersembunyi di balik kewenangan jabatan.
Meski dilakukan secara senyap, OTT ini justru mengguncang kepercayaan publik. Informasi mengenai diamankannya sejumlah pihak—mulai dari oknum aparat penegak hukum, pengacara, hingga unsur swasta—serta penyitaan uang tunai ratusan juta rupiah, membuka kembali luka lama birokrasi daerah: praktik gratifikasi dalam rotasi dan mutasi jabatan. Jika benar konstruksi awal perkara mengarah ke sana, maka yang dipertaruhkan bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi rusaknya sistem meritokrasi dalam pemerintahan.
Penyegelan ruang kerja kepala daerah memiliki makna politik dan etis yang mendalam. Jabatan bupati adalah amanah rakyat yang semestinya dijalankan dengan integritas dan tanggung jawab. Ketika ruang simbolik kekuasaan itu harus disegel oleh penegak hukum, publik berhak bertanya: sejauh mana tata kelola pemerintahan daerah telah menyimpang dari prinsip transparansi dan akuntabilitas?
Editorial ini memandang penting bagi KPK untuk bertindak tegas, terukur, dan transparan. Spekulasi publik tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kepastian hukum harus segera diberikan melalui penjelasan resmi, penetapan status hukum pihak-pihak terkait, serta pembukaan kronologi perkara secara proporsional. Kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi hanya akan terjaga bila proses penegakan hukum dilakukan tanpa tebang pilih dan tanpa kompromi politik.
Di sisi lain, keheningan Pemerintah Kabupaten Bekasi memperburuk situasi. Dalam negara demokratis, komunikasi publik adalah bagian dari tanggung jawab pemerintahan. Diamnya otoritas daerah justru memperlebar ruang kecurigaan dan memperdalam krisis kepercayaan. Kepala daerah dan jajaran birokrasi semestinya menjadikan momen ini sebagai refleksi kolektif, bukan sekadar menunggu proses hukum berjalan.
Kasus Bekasi juga mengingatkan bahwa korupsi tidak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam jejaring kepentingan yang melibatkan pejabat, aparat hukum, dan pihak swasta. Karena itu, pencegahan korupsi tidak cukup dengan regulasi formal atau slogan reformasi birokrasi. Diperlukan budaya integritas, sistem pengawasan yang efektif, serta keberanian masyarakat untuk terus mengawasi kekuasaan.
OTT ini harus menjadi pelajaran nasional bagi seluruh kepala daerah. Jabatan publik bukanlah alat tawar-menawar kekuasaan, melainkan mandat untuk melayani. Ketika jabatan diperdagangkan dan kewenangan disalahgunakan, maka yang dirugikan bukan hanya keuangan negara, tetapi masa depan demokrasi lokal.
KabarGEMPAR.com menegaskan, OTT KPK di Bekasi bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan ujian bagi komitmen negara dalam membersihkan tata kelola pemerintahan daerah. Publik menunggu langkah tegas KPK hingga tuntas, demi memastikan bahwa hukum benar-benar berdiri di atas semua kepentingan. Integritas pejabat publik bukan pilihan, ia adalah kewajiban konstitusional yang tidak boleh ditawar.
KabarGEMPAR.com
Tegas Lugas Objektif
