Pertanggungjawaban Hukum terhadap Pelapor dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Ilustrasi.

Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi

Minggu, 2 November 2025 | 15:45 WIB | Redaksi KabarGEMPAR.com

KABARGEMPAR.COM – Peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Salah satu bentuk partisipasi tersebut terwujud melalui mekanisme pelaporan dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Namun, dalam praktiknya muncul pertanyaan mengenai kemungkinan pihak terlapor mengajukan tuntutan balik terhadap pelapor ketika laporan tersebut tidak terbukti secara hukum. Tulisan ini bertujuan memberikan kajian normatif mengenai batasan pertanggungjawaban hukum bagi pelapor berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Secara prinsip, pelapor dilindungi oleh ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan bahwa saksi dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas laporan atau kesaksian yang disampaikan. Ketentuan ini merupakan manifestasi asas access to justice serta prinsip pencegahan kriminalisasi terhadap warga negara yang berpartisipasi dalam proses penegakan hukum.

Namun demikian, perlindungan tersebut bersifat relatif, bukan absolut. Undang-undang mensyaratkan adanya itikad baik (good faith) dalam penyampaian laporan. Oleh karena itu, pelapor yang terbukti memberikan laporan palsu atau kesaksian yang direkayasa untuk mencelakakan pihak lain dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata.

Beberapa ketentuan pidana yang relevan meliputi:

  • Pasal 220 KUHP tentang laporan palsu kepada pejabat berwenang,
  • Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah, dan
  • Ketentuan UU Informasi dan Transaksi Elektronik terkait pencemaran nama baik melalui media elektronik.

Dalam aspek perdata, pelapor yang bertindak tidak berdasarkan itikad baik dapat digugat melalui mekanisme perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari perspektif doktrin, perlindungan terhadap pelapor didasarkan pada prinsip perlindungan terhadap whistleblower dan perlunya mendorong kesadaran publik terhadap pelanggaran hukum. Namun, perlindungan tersebut harus diimbangi dengan prinsip akuntabilitas hukum agar tidak menjadi sarana penyalahgunaan hukum (abuse of process).

Perlu ditegaskan bahwa ketidakberhasilan pembuktian suatu laporan tidak serta-merta menjadi dasar tuntutan balik terhadap pelapor. Ketidakcukupan alat bukti atau perbedaan interpretasi terhadap fakta hukum tidak dapat disamakan dengan tindakan memberikan laporan palsu. Pertanggungjawaban hukum baru dapat muncul apabila ditemukan unsur kesengajaan untuk merugikan pihak lain.

Berdasarkan analisis normatif di atas, dapat disimpulkan:

1. Pelaporan tindak pidana merupakan hak hukum yang dijamin negara dalam rangka mendukung partisipasi publik dalam penegakan hukum.

2. Pelapor tidak dapat dituntut hanya karena laporannya tidak terbukti, sepanjang laporan tersebut dibuat dengan itikad baik.

3. Pelapor dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata apabila terbukti melakukan laporan palsu atau memberikan keterangan dengan tujuan merugikan pihak lain.

Dengan demikian, keseimbangan antara perlindungan hukum bagi pelapor dan penegakan prinsip itikad baik menjadi elemen fundamental dalam menjaga integritas proses peradilan pidana serta kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *