Pokir Bukan Alat Transaksi Politik
KABARGEMPAR.COM – Fenomena pengalihan lokasi proyek dari aspirasi masyarakat ke kepentingan pribadi oleh anggota DPRD baru mencerminkan degradasi serius dalam etika politik dan tata kelola pemerintahan daerah.
Pokok Pikiran (Pokir) DPRD sejatinya merupakan hasil serap aspirasi konstituen yang dirumuskan dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) maupun reses. Pokir bukan ruang bebas yang bisa diutak-atik seenaknya, apalagi setelah ditetapkan secara resmi dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. Ketika proyek yang telah dirancang melalui mekanisme
formal tiba-tiba diubah lokasinya karena adanya anggota DPRD baru yang masuk lalu “mengklaim” wilayah konstituennya, itu bukan hanya pelanggaran moral melainkan bentuk nyata penyalahgunaan kewenangan.
Yang lebih memprihatinkan, praktik ini sering dilakukan secara diam-diam tanpa penjelasan terbuka kepada publik. Proyek yang semula akan dilaksanakan di satu desa atau kelurahan mendadak dipindahkan hanya karena faktor kedekatan politik atau kepentingan elektoral anggota dewan baru. Padahal, anggaran telah disetujui berdasarkan perencanaan teknokratik oleh perangkat daerah dan hasil Musrenbang yang partisipatif.
Inilah yang mencederai prinsip dasar perencanaan pembangunan: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, proses perencanaan pembangunan daerah akan terdegradasi menjadi sekadar formalitas birokrasi yang dilangkahi kepentingan politik sesaat. Masyarakat akan semakin skeptis terhadap integritas sistem pemerintahan daerah. Dampaknya fatal: penurunan drastis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif dan eksekutif.
Kementerian Dalam Negeri, Inspektorat, dan Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya tidak menutup mata. Perubahan lokasi proyek tanpa dasar hukum yang sah bukan hanya bentuk maladministrasi, tetapi berpotensi menjadi tindak pidana korupsi apabila dilakukan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Sudah saatnya lembaga legislatif di daerah kembali pada jati dirinya: menjadi penyambung suara rakyat, bukan pemilik anggaran. Pokir bukan alat transaksi politik. Ia adalah amanat konstituen yang harus dijaga integritasnya—bukan komoditas kekuasaan yang bisa diperjualbelikan.

Hentikan Perubahan Lokasi Proyek Semena-mena
Perubahan lokasi proyek aspirasi (Pokok Pikiran DPRD) oleh anggota dewan yang baru menjabat merupakan praktik menyimpang yang semakin marak di berbagai daerah. Proyek yang telah disusun melalui proses Musrenbang, diverifikasi perangkat daerah, dan disepakati dalam dokumen perencanaan resmi, tiba-tiba digeser hanya demi akomodasi kepentingan politik personal.
Tindakan semacam ini tidak hanya mencoreng integritas lembaga legislatif, tetapi juga jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah.
Landasan Hukum yang Dilanggar
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 58 huruf c: Anggota DPRD dilarang menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya.
Pasal 65 ayat (1): Kepala daerah wajib menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik transparansi, partisipasi, akuntabilitas.
2. Permendagri Nomor 86 Tahun 2017
Menegaskan Pokir hanya dapat dimasukkan ke dalam RKPD jika berasal dari hasil reses resmi dan tercatat, bukan dari “keinginan mendadak” individu anggota DPRD.
3. Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah
Setiap perubahan rencana kegiatan dan anggaran hanya bisa dilakukan melalui mekanisme perubahan APBD (P-APBD) dengan dasar hukum yang sah.
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan… yang dapat merugikan keuangan negara…” dapat dipidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
Implikasi dan Tanggung Jawab
Perubahan lokasi proyek secara semena-mena, hanya karena intervensi politik atau ego sektoral anggota DPRD baru, tidak hanya cacat prosedur, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan negara. Lebih dari itu, masyarakat yang seharusnya menerima manfaat langsung dari pembangunan menjadi korban kegagalan moral para wakil rakyat.
Jika praktik ini dibiarkan, fungsi perencanaan pembangunan daerah akan mati suri. Pokir yang seharusnya menjadi instrumen aspirasi rakyat berubah menjadi alat transaksional elit politik.
Seruan Kami
KabarGEMPAR.com mendorong:
Inspektorat Daerah dan BPK segera melakukan audit menyeluruh terhadap proyek Pokir yang dialihkan lokasinya tanpa mekanisme resmi.
Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindak tegas setiap pelanggaran hukum dan etika yang dilakukan oknum anggota DPRD.
Kepala daerah agar berani menolak intervensi politik yang tidak memiliki dasar hukum, serta memulihkan prinsip perencanaan yang transparan dan partisipatif.
Pokir adalah amanat rakyat, bukan alat tukar kepentingan. Bila amanat ini dikhianati, legitimasi politik yang melekat pada jabatan itu akan gugur dengan sendirinya.
Penulis: Mulyadi | Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com