Retribusi Kebersihan dalam Tagihan PDAM: Solusi Administratif yang Menyesatkan Secara Hukum

Ilustrasi KabarGEMPAR.com

Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi

PEMERINTAH Kabupaten Karawang melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 38 Tahun 2024 telah menunjuk PDAM Tirta Tarum untuk memungut retribusi pelayanan kebersihan dari pelanggan air bersih. Skema ini dilakukan dengan cara menyisipkan tagihan retribusi ke dalam rekening air bulanan pelanggan PDAM. Kebijakan ini, meskipun tampak efisien secara administrasi, menyimpan persoalan serius jika ditinjau dari sudut hukum tata negara, hukum perdata, dan hukum pidana.

Dalam sistem hukum yang demokratis dan berbasis konstitusi, pemungutan terhadap masyarakat baik berupa pajak maupun retribusi harus tunduk pada asas legalitas. Artinya, setiap pungutan hanya dapat dilakukan bila diatur secara tegas dalam undang-undang atau peraturan daerah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), yang menyatakan bahwa retribusi hanya bisa dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda).

Masalah muncul ketika Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 17 Tahun 2023, yang menjadi landasan pemungutan retribusi daerah, tidak secara eksplisit memberikan kewenangan kepada PDAM atau BUMD lain untuk melakukan pemungutan retribusi. Perbup No. 38 Tahun 2024, yang justru memberi kewenangan baru kepada PDAM, telah melampaui fungsi hukumnya. Perbup adalah instrumen pelaksana teknis, bukan pembentuk norma baru. Dengan kata lain, Perbup ini telah mengambil alih kewenangan Perda, dan berisiko besar melanggar hierarki perundang-undangan.

Dari sisi hukum perdata, hubungan antara PDAM dan pelanggannya dibangun atas dasar kontrak atau kesepakatan mengenai penyediaan air bersih. Menambahkan pungutan retribusi atas layanan yang tidak pernah disepakati dalam kontrak awal, apalagi tanpa pemberitahuan dan persetujuan, merupakan bentuk pelanggaran asas konsensualisme. Pelanggan yang tidak merasakan langsung manfaat dari layanan kebersihan bisa menuntut PDAM karena dianggap wanprestasi. Bahkan, dari perspektif perlindungan konsumen, pemungutan yang dilakukan tanpa transparansi dan kejelasan manfaat dapat digolongkan sebagai perbuatan merugikan konsumen.

Lebih berbahaya lagi adalah potensi pelanggaran pidana. Pungutan yang tidak memiliki dasar hukum yang sah berpotensi dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli). Apabila dana hasil pungutan tidak sepenuhnya disetor ke kas daerah, atau dikelola tanpa akuntabilitas, maka pihak yang terlibat bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), termasuk penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

Dengan demikian, kebijakan penarikan retribusi kebersihan melalui tagihan PDAM bukan hanya cacat prosedural, tapi juga dapat membawa risiko hukum yang serius bagi pejabat daerah maupun PDAM sebagai pelaksana. Efisiensi administratif tidak bisa dijadikan alasan untuk menabrak prinsip legalitas, transparansi, dan akuntabilitas.

Redaksi mendorong Pemerintah Kabupaten Karawang untuk segera mengevaluasi kebijakan ini. Perlu dilakukan revisi terhadap Perda No. 17 Tahun 2023 agar secara eksplisit mengatur pelimpahan wewenang pemungutan kepada BUMD seperti PDAM.

Lebih penting lagi, pelanggan harus diberi pemahaman yang jernih mengenai dasar hukum, manfaat, serta mekanisme penggunaan retribusi tersebut. Jika tidak, maka kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk kepentingan publik bisa berubah menjadi beban yang melanggar hukum.

Pemerintahan yang baik tidak semata dinilai dari efektivitas kebijakannya, melainkan dari kepatuhannya terhadap hukum. Jangan sampai niat baik untuk menata pelayanan kebersihan justru menjerumuskan pemerintah daerah dalam pusaran masalah hukum yang merugikan masyarakat dan merusak kepercayaan publik.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup