SURAT TEGURAN YANG DISULAP JADI PENGHAKIMAN PUBLIK: SIAPA DALANG DIBALIK INI?

Ilustrasi

Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi KabarGEMPAR.com

ADA yang tak biasa dari viralnya surat teguran Dinas Pendidikan Wilayah IV Jawa Barat yang ditujukan kepada SMK TEKRAF AL AZHAR 02. Dokumen resmi yang semestinya bersifat administratif internal itu mendadak berubah wajah. Ia tidak lagi berfungsi sebagai instrumen pembinaan birokrasi, melainkan disulap menjadi alat penghakiman publik di media sosial dan portal berita daring. Ironisnya, pihak sekolah bahkan belum menerima surat teguran itu secara resmi. Dokumen tersebut lebih dulu beredar luas di media sebelum sampai ke tangan pihak yang dituju.

Yang lebih memprihatinkan, penyebaran surat tersebut tidak berdiri sendiri. Ia dibarengi dengan narasi menyudutkan, dibubuhi framing yang secara sadar atau tidak telah menggiring opini publik. Reputasi lembaga pendidikan menjadi sasaran tembak tanpa konteks yang utuh, tanpa klarifikasi resmi, dan yang lebih fatal: tanpa hak distribusi. Diduga kuat, penyebaran ini dilakukan oleh seseorang berinisial AF. Siapa dalang di balik ini?

Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah ini bentuk transparansi, atau sekadar propaganda dengan menjadikan dokumen negara sebagai senjata?

Bukan Vonis, Bukan Putusan Final

Perlu diletakkan dalam proporsi yang benar bahwa surat teguran adalah bagian dari proses administratif, bukan vonis, apalagi putusan hukum final. Ia ditujukan untuk memberi peringatan agar suatu entitas memperbaiki kinerja, melengkapi administrasi, atau menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

Namun ketika dokumen semacam ini dipublikasikan tanpa izin dan dibarengi narasi bernada vonis, maka posisinya bergeser. Dari dokumen resmi yang semestinya dijaga kerahasiaannya, ia berubah menjadi senjata pembunuh karakter. Di titik ini, bukan hanya etika informasi yang dilanggar, tetapi juga prinsip hukum yang mengatur distribusi dan perlindungan data.

Potensi Pelanggaran Hukum

Penyebaran surat teguran ini berpotensi melanggar beberapa ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Tiga di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Pasal ini mengatur larangan terhadap penyebaran konten bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik secara elektronik. Ketika surat teguran disebarkan dan dilengkapi dengan narasi yang menjatuhkan, muatan pencemaran bisa dianggap terpenuhi. Terlebih jika disebarkan secara sengaja, tanpa hak, dan melalui platform digital.

2. Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 310 KUHP menegaskan bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan lisan atau tulisan dapat dikenai sanksi pidana. Bila dilakukan secara terbuka seperti melalui media daring hukuman yang dikenakan menjadi lebih berat. Bila tuduhan disertakan dalam narasi dan tak bisa dibuktikan kebenarannya, maka Pasal 311 tentang fitnah bisa ikut dikenakan.

3. Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

UU KIP memang menjamin akses masyarakat terhadap informasi publik. Namun Pasal 6 ayat (3) juga menyebutkan bahwa badan publik wajib menolak permintaan informasi jika informasi tersebut bersifat rahasia, pribadi, atau dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Surat teguran administratif, dalam konteks ini, jelas bukan untuk konsumsi publik sebelum ada penyelesaian resmi atau pernyataan klarifikasi.

Demokrasi Digital Tanpa Etika

Di era media sosial, kecepatan sering kali mengalahkan akurasi. Sebuah unggahan bisa menyebar lebih cepat daripada penjelasan. Dan ketika surat resmi menjadi viral tanpa kontrol, tanpa konteks, dan tanpa pertimbangan etik, maka yang terjadi bukanlah transparansi melainkan persekusi digital yang dipertontonkan kepada publik.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah entitas yang melayani kepentingan publik. Namun bukan berarti setiap proses internalnya layak diumbar tanpa pertimbangan. Kesalahan administratif mestinya dibenahi melalui jalur pembinaan, bukan dijadikan tontonan yang mengundang caci maki.

Lebih jauh, jika praktik penyebaran ini dibiarkan, maka lembaga pendidikan mana pun akan rentan terhadap serangan serupa. Cukup sebarkan satu surat, tambah narasi provokatif, lalu biarkan publik yang “mengadili”. Ini bukan demokrasi, ini pengadilan jalanan versi digital.

Tata Kelola Informasi yang Bermartabat

Transparansi bukan berarti membuka semua hal tanpa filter. Apalagi bila informasi tersebut bisa menimbulkan kerugian, membangun stigma, dan merusak reputasi. Informasi publik tetap memiliki batas. Dan batas itu ditentukan oleh etika, aturan hukum, serta prinsip kehati-hatian.

Jika birokrasi ingin tetap bermartabat, maka tata kelola informasi harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Dokumen negara bukan alat framing. Surat resmi bukan bahan sensasi. Lembaga pendidikan bukan musuh yang pantas dijatuhkan hanya karena urusan administrasi.

Klarifikasi dan Langkah Hukum

Merespons pemberitaan yang berkembang, pihak SMK TEKRAF AL AZHAR 02 menyampaikan klarifikasi resmi. Melalui pengurus Yayasan Ummu Hamdah, Ibnu Mahtumi, dijelaskan bahwa proses perizinan sekolah telah dimulai sejak tahun ajaran 2022–2023.

Ibnu menegaskan bahwa pihak sekolah bersikap kooperatif dalam memenuhi setiap persyaratan yang ditetapkan oleh KCD Wilayah IV Jawa Barat. Ia menyayangkan langkah oknum tertentu yang menyebarluaskan dokumen internal tersebut disertai narasi yang menyesatkan.

“Surat itu bagian dari proses pembinaan, bukan vonis. Tapi ketika dipublikasikan tanpa izin dan konteks, lalu dipelintir seolah-olah sekolah ilegal, ini sangat merugikan nama baik kami,” ujarnya.

Sebagai bentuk keseriusan, Ibnu menyebut bahwa pihak yayasan tengah mempersiapkan langkah hukum terhadap oknum yang menyebarluaskan dokumen resmi tanpa hak dan tanpa konteks yang benar.

“Kami tidak anti kritik. Tapi jika ada upaya yang mencemarkan dan membentuk opini sesat, kami wajib melindungi nama baik lembaga secara hukum,” tegasnya.

Ia berharap agar ruang digital digunakan untuk memperkuat literasi, bukan untuk menjatuhkan pihak yang tengah menjalani proses administratif secara sah.

“Kami berdiri untuk mendidik anak bangsa. Mari jaga ruang pendidikan agar tetap adil dan beretika,” tutup Ibnu.

Kasus Lain yang Serupa

Kasus serupa juga menimpa SMK IT Nurul Iman Mitra Industri yang berlokasi di Desa Baturaden, Kecamatan Batujaya. Sekolah ini juga menjadi sasaran penyebaran surat edaran serupa yang beredar luas di media daring, lengkap dengan narasi yang menyudutkan. Padahal, hingga saat ini sekolah tersebut belum menerima siswa satu pun.

“Izin sedang kami proses, tapi sampai saat ini kami belum menerima siswa,” ujar perwakilan Yayasan.

Pernyataan ini memperjelas bahwa aktivitas pendidikan belum dimulai, sehingga penyebaran surat dengan insinuasi pelanggaran menjadi tidak relevan dan berpotensi menyesatkan opini publik.

Narasi tunggal tanpa klarifikasi resmi justru membentuk kesan bahwa lembaga pendidikan ini telah beroperasi secara ilegal, padahal secara faktual belum menjalankan kegiatan belajar-mengajar. Lagi-lagi, surat pembinaan administratif berubah menjadi alat pembentukan stigma, bukan alat penyempurnaan tata kelola.

Di tengah derasnya arus informasi, kita butuh ruang digital yang sehat, bukan ladang penghakiman yang menggiring opini tanpa fakta dan klarifikasi.

KabarGEMPAR.com membuka ruang hak jawab dan klarifikasi bagi pihak-pihak yang disebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup