Tiga Tewas dalam Acara Makan Gratis Pernikahan Anak Dedi Mulyadi, Hukum dan Publik Menanti Penjelasan
GARUT | KabarGEMPAR.com – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai sorotan tajam setelah insiden tewasnya tiga orang, termasuk seorang anggota Polri, dalam acara makan gratis yang digelar dalam rangkaian pesta pernikahan anaknya, Jumat, (18/7/2025).
Kontroversi mencuat setelah Dedi menyatakan tidak mengetahui dan tidak menyetujui acara makan siang massal tersebut. Padahal, video percakapan dirinya dengan sang anak justru menunjukkan sebaliknya bahwa Dedi membahas secara langsung ihwal pembagian makanan untuk warga.
Pernyataan yang dinilai bertolak belakang dengan fakta itu pun memicu gelombang kritik publik. Di media sosial, khususnya TikTok, warganet mempertanyakan integritas Dedi dan menyebut gaya kepemimpinannya mulai kehilangan kejujuran. Frasa “mulai berbohong” menjadi narasi yang ramai di kolom komentar video yang menampilkan cuplikan Dedi tengah berdialog soal logistik makan gratis.
Detail Pernikahan: Anak Dedi Mulyadi dan Wakil Bupati Garut
Acara yang menelan korban jiwa tersebut berlangsung bertepatan dengan pernikahan putra sulung Dedi Mulyadi, Maula Akbar Mulyadi Putra, dengan Luthfianisa Putri Karlina, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Garut.
Agenda: Resepsi rakyat terbuka dengan pembagian makanan gratis untuk ribuan warga Acara pernikahan yang dikemas sebagai pesta rakyat itu mengundang ribuan orang, dengan konsep makan sepuasnya dan hiburan gratis. Namun, tanpa pengaturan kerumunan yang memadai, insiden desak-desakan terjadi dan menyebabkan tiga orang tewas.
Aspek Hukum dan Potensi Pidana
Praktisi hukum Asep Agustian, SH., MH menilai ada indikasi kuat kelalaian dalam pelaksanaan acara tersebut. Bila Dedi Mulyadi terbukti mengetahui dan membiarkan kegiatan berskala besar tanpa izin keramaian maupun protokol pengamanan, maka unsur pidana dapat dikenakan.

“Kalau memang terbukti ada pengetahuan dan pembiaran, sementara kegiatan itu menyebabkan korban jiwa, maka bisa masuk dalam Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian,” ujar Asep.
Pasal 359 KUHP menyatakan:
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang lain, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Menurut Asep, kegiatan berskala massal seperti ini semestinya diawali dengan izin resmi dari kepolisian, koordinasi dengan Satpol PP, serta kesiapan tim medis dan pengamanan. Jika semua itu diabaikan dan mengakibatkan korban, maka tanggung jawab hukum bisa ditelusuri, termasuk ke pihak penyelenggara maupun pejabat yang terlibat.
“Pernikahan ini memang acara pribadi, tapi ketika diubah jadi konsumsi publik, maka tanggung jawab hukumnya juga berubah,” tambahnya.
Tekanan Publik dan Tuntutan Transparansi
Selain aspek pidana, publik juga menuntut akuntabilitas moral dan tidak hanya pada klarifikasi, tetapi juga pada pertanggungjawaban sosial berupa santunan dan permintaan maaf terbuka.
Hingga kini, pihak kepolisian masih menyelidiki penyebab pasti kematian korban dan apakah ada kelalaian yang bisa dipidana. Sementara itu, belum ada pernyataan baru dari Dedi Mulyadi usai bantahan awal yang justru menimbulkan gelombang ketidakpercayaan.
Catatan Redaksi:
Peristiwa ini menjadi cermin bahwa dalam sistem demokrasi, kegiatan apapun yang berdampak publik harus ditangani secara transparan dan profesional. Saat tanggung jawab moral dan hukum bercampur, kejujuran pemimpin menjadi titik tolak utama.
Laporan: Tim Kabar Garut | Editor: Redaktur KabarGEMPAR.com