KUHAP Baru Atur Restorative Justice, 9 Tindak Pidana Tetap Wajib Diproses Melalui Pengadilan

Ilustrasi: Rapat Kerja Komisi III DPR RI.

JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi undang-undang. Salah satu ketentuan penting dalam KUHAP yang diperbarui ialah pengaturan restorative justice sebagai mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan.

Ketentuan tersebut sebelumnya tidak dikenal dalam KUHAP lama. Kini, korban memperoleh ruang untuk memberikan pemaafan yang berimplikasi pada penghentian proses peradilan, namun tetap melalui pengawasan ketat oleh pengadilan dan hanya dalam batasan tindak pidana tertentu.

Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-18 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (19/11). Setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangan dan menyatakan persetujuan, Ketua DPR RI Puan Maharani mengetuk palu pengesahan.

Pengaturan Restorative Justice dalam KUHAP Baru

Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, restorative justice dapat diterapkan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III atau pidana penjara paling lama lima tahun;
  • Tindak pidana dilakukan untuk pertama kalinya;
  • Tidak merupakan pengulangan tindak pidana, kecuali apabila putusan sebelumnya berupa pidana denda atau tindak pidana karena kealpaan.

Pasal 81 ayat (2) menambahkan bahwa kesepakatan perdamaian harus dilakukan tanpa tekanan, paksaan, intimidasi, atau kekerasan, baik terhadap korban maupun tersangka, serta tetap harus memperoleh pertimbangan dan penetapan dari pengadilan.

Jenís Tindak Pidana yang Tidak Dapat Menempuh Restorative Justice

Pasal 82 KUHAP menegaskan bahwa tidak semua tindak pidana dapat dihentikan melalui restorative justice. Terdapat sembilan pengecualian, yaitu:

1. Tindak pidana terhadap keamanan negara, negara sahabat, kepala negara sahabat, ketertiban umum, dan kesusilaan;

2. Tindak pidana terorisme;

3. Tindak pidana korupsi;

4. Tindak pidana kekerasan seksual;

5. Tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih (kecuali karena kealpaan);

6. Tindak pidana terhadap nyawa;

7. Tindak pidana dengan pidana minimum khusus;

8. Tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat;

9. Tindak pidana narkotika, kecuali bagi pengguna atau penyalahguna.

Dengan ketentuan tersebut, pelaku tindak pidana berat tetap wajib melalui proses peradilan hingga putusan akhir, sekalipun korban memberikan pemaafan.

Penegasan DPR dan Agenda Penegakan Hukum

Komisi III DPR RI menekankan bahwa penerapan restorative justice bukan bentuk kompromi untuk melemahkan penegakan hukum, melainkan mekanisme penyelesaian perkara yang dianggap dapat memulihkan korban dan pelaku pada kasus tertentu tanpa mengurangi prinsip kepastian hukum.

Seluruh penghentian perkara melalui mekanisme restorative justice tetap harus dimintakan penetapan kepada pengadilan, dengan tujuan mencegah penyalahgunaan kewenangan, tekanan kepada korban, maupun penyelesaian perkara di luar pengawasan negara.

Dengan pengesahan revisi KUHAP ini, pemerintah dan DPR berharap proses penegakan hukum ke depan dapat berjalan lebih manusiawi, responsif, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, namun tetap tegas dalam menangani tindak pidana berat.

Laporan: Tim Kabar Nasional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *