DPRD Purwakarta Dinilai Abaikan Hak Konstitusional, KMP Layangkan Surat Keberatan Resmi

DPRD dinilai abaikan hak konstitusional rakyat terkait dana bagi hasil pajak (DBHP) 2016–2018.

PURWAKARTA | KabarGEMPAR.com – Komunitas Madani Purwakarta (KMP) resmi melayangkan surat keberatan kepada Ketua DPRD Purwakarta lantaran dinilai mengabaikan kewajiban memberikan informasi publik terkait penundaan pembayaran Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) tahun 2016–2018.

Langkah ini ditempuh setelah dua surat resmi sebelumnya tidak mendapat jawaban substansial. Surat pertama yang dilayangkan pada 17 Juni 2025 hanya dibalas dengan jawaban normatif tanpa data konkret. Sementara surat kedua tertanggal 11 Juli 2025 justru tidak dijawab sama sekali, melampaui tenggat 17 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (7) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Ketua KMP, Ir. Zaenal Abidin, MP, menegaskan pihaknya menilai DPRD telah mengabaikan hak rakyat.

“Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka dialirkan. Penundaan DBHP yang tidak jelas adalah bentuk perampasan hak keuangan desa. Jika DPRD menutup-nutupi informasi publik, ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah melukai keadilan rakyat. Wajar rakyat marah!” tegas Zaenal, Rabu (27/8/2025).

Nada serupa disampaikan Sekretaris KMP, Agus M Yasin, SH, yang menilai sikap DPRD tidak sekadar abai, tapi sudah melanggar hukum.

“Ini bukan lagi sekadar keterlambatan jawaban. DPRD jelas-jelas mengabaikan UU KIP. Kami tegaskan, pengabaian seperti ini berpotensi disoal secara hukum, termasuk pidana,” katanya.

Potensi Jerat Hukum

KMP mengingatkan bahwa sikap bungkam DPRD dapat menjerat mereka ke ranah hukum. Setidaknya ada tiga aturan yang berpotensi diterapkan:

Pasal 52 UU KIP: Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan informasi publik padahal wajib, dapat dipidana.

Pasal 55–56 KUHP: Pihak yang turut serta atau membiarkan pelanggaran bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.

Pasal 21 UU Tipikor: Setiap orang yang menghalangi atau merintangi proses pemeriksaan tindak pidana korupsi dapat dipidana.

“Jika penundaan DBHP 2016–2018 berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan atau dugaan korupsi, maka sikap DPRD menutup-nutupi informasi dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice. Ini bisa dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor,” tegas Zaenal.

Ultimatum KMP

KMP memberi waktu 30 hari sejak surat keberatan dilayangkan. Bila DPRD tetap bungkam, mereka akan menempuh tiga langkah tegas:

  1. Membawa kasus ke Komisi Informasi Jawa Barat.
  2. Mendorong proses hukum pidana dengan melibatkan aparat penegak hukum.
  3. Menggalang aksi publik karena rakyat berhak marah jika uang daerah dikelola secara gelap.

KMP menegaskan bahwa kasus DBHP Purwakarta 2016–2018 bukan sekadar persoalan birokrasi, melainkan menyangkut hak desa, hak rakyat, dan potensi kerugian negara. Jika DPRD tetap menutup diri, KMP bersama masyarakat siap mendesak aparat hukum turun tangan.

Reporter: Heri Juhaeri | Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup