Air Mata Tak Pernah Kering di Tanah Rawagede: Monumen yang Menyimpan Luka dan Cinta Bangsa
KARAWANG | KabarGEMPAR.com – Kampung Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, berdiri sebuah monumen yang tidak sekadar menandai lokasi. Ia adalah penanda luka. Ia adalah saksi bisu dari salah satu bab tergelap dalam sejarah bangsa. Monumen Rawagede dibangun untuk mengenang tragedi memilukan pada 9 Desember 1947, ketika 483 warga tak bersalah dibantai oleh tentara Belanda dalam sebuah aksi militer yang tak berperikemanusiaan. Mereka datang dengan satu tujuan: menangkap Komandan Gerilya Republik, Lukas Kustaryo.
Dari ratusan korban tersebut, 181 jiwa dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan. Di tanah itu, tubuh-tubuh tak berdosa kini bersemayam. Tapi semangat mereka tak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam batu, dalam tanah, dalam udara yang mengalir di sekitar monumen itu mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah. Ia dibayar dengan darah. Dengan air mata.
Peristiwa ini mengguncang banyak hati, termasuk Chairil Anwar. Ia tak kuasa menahan duka dan menuangkannya dalam puisi abadi Antara Karawang-Bekasi. Puisinya tak hanya tentang tempat. Ia adalah ratapan. Ia adalah penghormatan.
Monumen Rawagede bukan sekadar struktur dari batu dan tembok. Ia menyimpan ukiran perjuangan rakyat, diorama pembantaian, taman makam, serta dua sosok anak kecil yang membisu namun berbicara dalam diam: patung Adul dan Atung, dua kakak beradik korban tragedi. Mereka kini menjadi ikon ketegaran sekaligus kepedihan sejarah.
“Anak-anak sekolah dari Karawang dan Bekasi sering datang ke sini. Ini tempat belajar sejarah yang nyata,” tutur Karyadi, pengelola Monumen Rawagede.
Monumen ini bukan sekadar destinasi sejarah. Ia adalah peringatan yang hidup. Sebuah pesan sunyi dari masa lalu kepada masa depan: jangan pernah melupakan sejarah. Karena di tempat ini, air mata tak pernah benar-benar kering.
Reporter: Tim Kabar Karawang | Editor: Redaktur KabarGEMPAR.com