Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Negara Tak Boleh Diam

Ilustrasi.

EDITORIAL
Oleh: Mulyadi | Pemimpin Redaksi

KASUS dugaan kekerasan seksual terhadap seorang siswa sekolah lanjutan tingkat pertama di Kecamatan Batujaya kembali menguji keseriusan negara dalam melindungi anak. Perkara yang menyeret humas SMKS Nurul Muslimin berinisial AF itu sempat menyedot perhatian publik. Namun hingga kini, penjelasan komprehensif mengenai perkembangan penanganannya tak kunjung muncul. Kekosongan informasi ini menimbulkan kegelisahan sekaligus pertanyaan mendasar: sejauh mana negara sungguh hadir memastikan penegakan hukum atas kejahatan seksual terhadap anak?

Padahal instrumen hukumnya telah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menegaskan setiap dugaan kekerasan seksual harus ditangani secara serius, transparan, dan berorientasi pada perlindungan korban. Hak-hak korban; pendampingan, perlindungan, hingga akses terhadap informasi proses hukum, bukanlah formalitas. Itu mandat yang wajib dijalankan negara, termasuk oleh aparat daerah yang menangani kasus ini.

Ketidakjelasan informasi justru membuka ruang spekulasi yang tidak sehat. Dalam perkara sensitif seperti kekerasan seksual, kaburnya komunikasi bukan hanya berpotensi merugikan korban, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Transparansi yang proporsional, tanpa menyingkap substansi perkara, adalah bentuk akuntabilitas yang tidak bisa dinegosiasikan.

Perhatian publik semakin meningkat setelah muncul dugaan baru mengenai relasi tidak pantas antara seorang guru berinisial YHY dan siswinya yang disebut terjadi ketika korban masih berstatus pelajar aktif. Meski membutuhkan pembuktian hukum, fakta bahwa laporan baru ini kembali berasal dari sekolah yang sama menunjukkan adanya persoalan struktural dalam pengawasan internal satuan pendidikan. Sekolah yang semestinya menjadi ruang paling aman bagi anak justru berkali-kali menjadi lokasi munculnya dugaan pelanggaran.

Yang membuat publik tercengang ialah bahwa dugaan ini justru pertama kali disampaikan oleh AF, yang di saat bersamaan masih berstatus sebagai terlapor dalam kasus serupa yang saat ini kasusnya ditangani pihak kepolisian. Pengungkapan tersebut memicu perbincangan luas dan menambah panjang daftar persoalan yang harus dijelaskan secara terang oleh pihak berwenang.

UU TPKS secara tegas memberikan pemberatan hukuman terhadap kasus yang melibatkan relasi kuasa, termasuk guru terhadap murid. Sementara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan tanggung jawab negara, pemerintah daerah, hingga satuan pendidikan untuk memastikan lingkungan sekolah bebas dari kekerasan. Ketika muncul laporan atau dugaan, respons cepat, terukur, dan profesional bukanlah pilihan itu kewajiban.

Kekhawatiran masyarakat mengenai potensi impunitas harus direspons dengan tindakan nyata. Penegakan hukum yang tegas tak boleh mengabaikan asas praduga tak bersalah. Namun keterlambatan, keraguan, atau ketidakjelasan justru memperkuat persepsi bahwa negara tidak hadir sepenuhnya untuk korban.

Praktisi hukum Asep Agustian mengingatkan pentingnya komunikasi publik dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Bukan untuk membuka detail perkara, melainkan untuk memastikan masyarakat mengetahui bahwa proses hukum berjalan dan negara bekerja sesuai mekanisme. Komunikasi semacam ini menjadi krusial ketika dugaan pelanggaran berulang kembali terjadi di lingkungan pendidikan.

Pada titik ini, evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus sebelumnya menjadi mutlak. Tujuannya bukan mencari kambing hitam, melainkan memastikan tidak ada celah yang memungkinkan dugaan kejahatan seksual luput dari penegakan hukum. Dugaan baru yang muncul pun harus ditangani secara objektif, profesional, dan independen, dengan tetap memastikan hak seluruh pihak terlindungi.

Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan serius yang tidak boleh direspons setengah hati. Negara tidak boleh diam. Peraturan sudah jelas, mandat negara tegas, dan harapan publik terang: sekolah harus menjadi ruang aman, bukan tempat yang menyimpan potensi bahaya. Penanganan yang cepat, transparan, dan berkeadilan bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga wujud komitmen moral negara dalam menjaga masa depan generasi muda Indonesia.

Publik mendesak negara benar-benar hadir dan bertindak tegas: jangan biarkan pelaku pelecehan seksual terhadap anak lolos dari jerat hukum. Proses hukum harus dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan tanpa kompromi.

KabarGEMPAR.com
Tegas Lugas Objektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *